Orang Jepang memanggilnya Ichi Rohi, artinya anak sulung. Begitulah anak nakal Bas Wie dikenal serdadu Jepang ketika masa pendudukan di Pulau Timor. Menurut ibu Oni Tanya Uly, Ichi Rohi termasuk beruntung, karena kenakalannya pernah membat tentara Jepang marah. “ Kalau saja dia bukan anak kecil 10 tahun, dia sudah di bunuh Jepang,” ujar Ibu Ony. Bas Wie pernah ikut keluarga mereka, tapi tidak lama.
Saat itu, bulan Agustus 1946, perang dunia II baru saja berakhir. Pulau Timor diduduki tentara sekutu dari sebuah kotingen khusus militer Australia yang disebut tim Force bertugas dikupang, ibu kota Pulau Timor.
Bas Wie, memang sudah akrab dengan lapangan terbang. Pada masa sebelumnya ia menjadi tukang cuci piring di dapur bandara Penfui Kupang. Sekarang lapangan terbang itu dinamakan Bandara Eltari. Ia adalah anak yatim dari Pulau Sabu yang bernama Sabu Wie Dara, merasa dirinya di tolak di mana-mana. Wajar saja bila tiap saat dia melihat pesawat terbang take off, dia langsung berkhayal. Ingin pergi jauh, terbang bersama pesawat itu, entah kemana. Baginya yang penting segera bisa meninggalkan kehidupan yang keras yang selalu menderanya tiap hari.
Keramahan tentara Australia yang datang melucuti tentara jepang bagi Bas Wie merupakan kesempatan tersendiri. Ia merasaka keramahan tentara Australia dari mana ia memperoleh pepermen, atau bola yang sulit di peroleh anak-anak semacam dia ketika itu. Kadang –kadang ia di beri daging, membawanya di jep atau truk berkeliling.
Suatu malam tidak sengaja ia mendengar percakapan hall bandara. Pesawat Angkatan Udara Belanda C-47 yang sedang parkir di luar akan berangkat ke Australia. Spontan ia mendapatkan ide.
“ Nah, bagamana kalau ikut terbang bersama pesawat itu,” ujarnya dalam hati. Ia mencoba menyelinap, tetapi pintu pesawat terkunci. Tiba-tiba ia menemukan dua rongga nacelle yang menutup ban pesawat jika pesawt telah tinggal landas. “ Nah, ini dia.” Ia memanjat, menjorot di salah satu rongga itu, di mana cukup untuk tubuhnya bersembunyi. Dengan was-was ia berharap tidak di temukan petugas bandara.
Beberapa menit kemudian para crew masuk ke pesawat, menghidupkan dan pesawat pun bergerak. Saat pesawat menyapu landasan pacu, mimpi buruk Bas Wie pun di mulai. Pipa knalpot menyemburkan api orange. Pendingin baling-baling mengoyak- ngoyak kemeja tipisnya. Tapi ia harus menyelamatkan dirinya dari asap mesin. Iapun bergeser kesatu- satunya tempat di mana ia bisa selamat, yaitu sebuah ruang berukuran 10 x 20 inchi yang berada di antara tangki bahan bakar dan pipa knalpot.
Ban pesawat yang mulai masuk menjepit dirinya dan ruas besi bergerak masuk dan keluarnya roda menghimpit bahunya. Tubuhnya berdarah sekaligus hangus oleh api dan kedinginan oleh angin lautan yang menderu. Ia merintih, lalu pingsan. Selama tiga jam tubuhnya terjepit dalam rongga roda yang menjepitnya demikian erat sehingga tubuhnya bahkan menempel bagai cicak di langi-langit, bahkan tidak jatuh saat ban pesawat digerakan keluar untuk mendarat. Para crew menemukannya ia “tertempel” di rongga dan tampaknya hampir mati.
“Tak ada yang melihat, saya langsung melompat ke atas dan bergelantungan,” Bas Wie menjelaskan bagaimana ia bisa naik ke roda pesawat. “Banmulai naik mendorong ke atas dan saya kehabisan ruang, ruangannya makin sempit dan sempit, tidak ada lagi tempat. Aya ingin berteriak tapi kemudian saya pikir percuma saja karena mreka tak akan mendengar.”
Pilot Angkatan Udara Belanda, Jan Sjouw, yang menerbangkan pesawat DC3 itu, saat bertemu kembali dengan Bas Wie, 32 tahun kemudian, mengatakan pesawat itu mengalami masalah selama penerbangan: Pemanas kabin tidak bekerja tapi ia terus saja melaju. Rupanya pemanas kabin terganggu dengan benda asing yang menerobos di rongga pesawat. Rupanya di situ terganjal tubuh Bas Wie.
Jan Sjouw mengungkapkan keheranannya, sebelum mendarat di Darwin pesawat ini harus menunggu giliran untuk mendarat. Roda pesawat telah di turunkan sebelum waktunya pada ketinggian sekitar 1.500 kaki. “Tetapi anak ini tidak terjatuh,” ujarnya mengenang.
Hari telah gelap ketika pesawat C-47 itu mendarat di landasan RAAF19 di Darwi. Petugas jaga malam itu Jim Fleming mengecek pesawat yang singgah itu.
“Saya mengarahkan lampu senter ke atas dan tampak seorang anak, tergencet di dinding pemisah pesawat,” kata Jim Fleming, setelah pensiun sebagai Marsekal Madya Angkatan Udara. ”Separuh tubuhnya terutama bagian belakangnya terbakar parah oleh knalpot pesawat di mana ia bersandar, sedangkan separuh tubuhnya membeku. Tapi benar-benar ia tidak sadarkan diri. Biji matanya sudah terbalik sehingga yang tampak hanya bola mata yang putih. Saya pikir dia sudah meninggal.”
Dalam keadaan tak sadarkan diri, sebagian tubuhnya terbakar dan luka besr menganga, Bas dilarikan ke rumah sakit.
Selama kurang lebih tiga bulan para dokter dan perawat di Rumah Sakit Darwin merawat anak yang kemudian dikenal oleh semua orang dengan julukan “The Kupang Kid”.
Pemerintah Australia hampir saja memulangkannya ke Timor sebagai imigran gelap, tetapi masyarakat kota membela Bas Wie.
“Bagaimana pun anak itu telah berusaha memasuki Australia dengan susah payah. Kiata hendak menghormati kehadirannya di tengah-tengan kita,” uajr mereka yang membela Bas Wie. Maka Bas Wie pun tinggal di negeri itu bagai anak yang tidak di harapkan. Sampai tahun 1952, enam tanun ia berada di Darwin ia masih berada di lingkungan bandara, sebagaimana dunianya sejak kecil, bekerja pada toko milik RAAF. Tetapi tempat tinggalnya masih belum tentu. Pemerintah Australia saat itu mempunyai kebijakan “Keep Autralia White” yang membatasi imigran Asia.
Media Northen Standard melaporkan hal ketidak pastian tinggalnya Bas Wie. Si anak Sabu itu menjadi topik di Australia. Masyarakat kota Darwin tak hentinya mencecar Menteri Imigrasi dengan protes. “ Anak dengan keberanian seperti itu,” kata salah satu pemrotes,”butuh dukungan.”
Karena tekanan ini, pemerintah memberikan bocah in sertifikat pengecualian selama seahun yang disebut Permit of Entry. Sertifikat yang dikeluarkan ole Departemen Imigrasi ini harus diperbaharui tiap tahun dan kapan saja bisa dibatalkan oleh Kementrian Imigrasi.
Ketika terjadi pergantian administratur, sepasang suami istri dari Kota Darwin mengadopsi Bas. Orang yang mengadopsinya itu adalah orng Inggris yang menikah dengan seorang perempuan native Australia dari Larrakia bernama Bertha Cubillo. Bertha adalah keturunan campuran Aborigin dan Filipina. Lima puluh delapan tahun kemudian, ketika diwawancarai Murray McLaughlin dari Radio Australia Broadcasting Corporation (ABC), Bas Wie mengaku, malam itu bahkan ia pun tak tau kemana pesawat itu akan berangkat.
“Saya tidak tahu ada negara lain di luar sana. Sungguh, dalam usia seperti itu, anda pasti mengerti,” katanya.
Nasib Bas tergantung pada tangan Menteri Imigrasi saat itu Arthur Calwell. Walaupun Calwell dikenal sebagai arsitek program migrasi Australia pasca perang, Calwell punya reputasi sebagai kelompok garis keras dalam parlemen Australia karena kegigihannya untuk mendeporyasi orang Indonesia yang mencari suaka di Australia selama perang.
Rpanya ketika Bas berada di rumah sakid, Administratur Darwin saat itu Arthur R Drive telah bernegosiasi dengan Menteri Calwell aga Bas tetap diperbolehkan tinggal di Darwin. Calwell setuju asalkan Bas berada di bawah pengawasan Driver. Driver sendiri memberinya tinggal di sebuah rumah penginapan milik pemerintah (Goverment House) dan ia di sekolahkan. Sebagai balasannya, Bas bekerja di sekitar kediaman resmi sang administratur dan setiap hari Natal ia menghadiahi sang administratur dengan sebuah miniatur kapal laut dengan motif Sabu yang ia ukur sendiri.
“Saya dirawat seperti anak mereka sendiri, dan bagi saya mereka seperti orang tua kandung saya, sangat baik”, kata Bas mengenang masa-masa bekerja di rumah Driver.
Bas kemudian juga bekerj pada Eric Izod pemilik Izod Motor dan ia membayar sewa perumahan milik pemerintah itu dengan gajinya. Keberanian bocah 12btahun dari Kupangini menjadi headline di berbagai media seluruh dunia saat itu, bahkan sampai beberapa tahun setelah kejadian itu. Pada tgl 20 Juli 1951 Arthur R Driver telah meninggal, korran melaporkan tentang Bas yang diperkirakan berusia 16 tahun pada saat itu. Karena ketiadaan dokumen, usianya ditentukan dengan perkiraan. Ia kemudian bekerja sebagai klerk pada Commonwealth Works Departement. Di sanalah pada uasia 24 tahin ia bertemuseoran gadis cantik dari Perth bernama Margareth. Mereka bertemu pertama kali pada bulan Februari 1956 ketika Margareth bekerja sebagai seorang Junior Draftwoman pada bagian surat-surat masuk pada The Departement of Works and Housing.
“Ia membawa surat ke meja saya, mengantarnya secara khsus,” uajr Margareth. “Bagi saya, itu semacam cinta pada pandangan pertama.”
Setelah 18 bulan berpacaran, keduanya menikah di sebuah Gereja Katholik di Smith Street di mana Bas perna bekerja sebagai seorang anak altar. Upacara pernikahan di gereja kecil ini, diikuti oleh rsepsi terang bulan di halaman belakang rumah di Fannie Bay.
Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, tepatnya pada bulan July 1958 saat majalah Time melaporkan tentang Bas, sebuah keberuntungan lagi menghampiri hidup pemuda ini: ia akhirnya menerima permanent residence yang telah lama ia tunggu. Penerimaan ini merupakan sesuatu yang sangat langka dalam kebijakan imigrai Australia saat itu yang sangat anti Asia.
The Kupang Kid akhirnya menerima surat-surat naturalisasinya. “Kami bangga”, kata salah seorang pejabat seperti yang dilaporkan majalah Time,” mempunyainya sebagai seorang Australia.”
Majalah Time pun melaporkan tentang kisah ini pada edisi 7 Juli 1958. Pada tahun 1978, Bas dan keluarganya menjadi topik utama dalam program TV This Is Your Life.
Bas Wie dan istrinya Margareth kini telah pensiun dan pereka mempunyai lima anak serta tujuh orng cucu. Pada ulang tahun perkawinan mereka yang ke 70 pada tanggal 8 Desember 2007, wartawan Australia Daniel Bouchier menulis tentang pasangan ini dengan judul: “Kupang Kid Marks A Marriage Half Century.”
Sejarah kehidupan hidup Bas Wie tertulis dalam sejarah Northern Territory. Cerita hidupnya adalah cerita seorang survivor yang hebat. Seperti kata istrinya, Margareth:”Ia punya ketetapan hati yang besar untuk melakukan sesuatu yang telah ia tetapkan dalam pikirannya, dan sedikit semangat gambling, untuk mengambil resiko.”
Anak laki-laki Bas, Trevor, mengenang bagaimana ayahandanya menjawab jika oran menanyakan luka besar di punggugnya.Trevir mengingat pada thun 1960-an di mana Darwin adalah tempat yang enak untuk bermain bola sambil bertelanjang dada.
Saat bermain di lapangan, Trevor biasa mendengar anak-anak bertanya:
”Mr Wie, Mr wie. What’s that mark on your back?”
“Oh, a butterfly landed there,” adalah satu-satunya jawaban yang biasa ia berikan, kenang Trevor.
“Itulah ayah” kenang Trevor. “Dihantam oleh sebuah ban yang berputar, diberkati ole keberuntungan. Hangus di satu sisi, beku di sisi lain. Selalu murah hati.”
“Saya tidak pernah mendengarnya mengatakan sesuatu hal yang jelek tentang siapa pun. Orang-orang baiik telah berjuang baginya agar ia tetap tinggal di Darwin.”
Menurut Trevor sikap Bas ini adalah bagian dari penghargaan Bas terhadap orang-orang baik yang telah berani melawankebijakan ‘Keep Australia White’ pada masa itu untuk membela ayahnya agar tidak didepotasi.
Ya, hanya mereka yang pernah merasakan kemurahan Allah yang begitu nyata dan besarlah yang selalu mensyukuri apa yang mereka punya tanpa mengeluh. Benar, sebuah kupu-kupu telah hinggap di pundakmu om Bas, dan itulah yang telah membuatmu menjadi seorang ayah, suami, kakek yang membanggakan. “Selalu murah hati” seperti kata anakmu. Ketika itu hampir semua media di dunia memuat sensasi Bas Wie dan Arsip Nasional Australia menyimpan dua ribuan halaman dokumen berkaitan dengan kasus Bas ini.(Dari berbagai sumber)