Desa Kehilangan Otonomi

Kupang, seputar-ntt.com – Sejak orde baru, desa mengalami negaranisasi yang membuatnya menjadi kehilangan otonomi asli dan kemampuan untuk mengatur serta mengurus dirinya. Demikian disampaikan akademisi Undana, David Pandie, saat tampil sebagai pembicara dalam workshop bedah UU Desa dan rekomendasi substansi pembentukan peraturan pelaksanaan UU Desa di Hotel Ima, Kamis (20/2/2014) di Hotel Ima.

Menurut Pandie, ketika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa ditetapkan untuk dilaksanakan, maka dibutuhkan suatu pemahaman kembali tentang substansi pemerintahan sebagai the self-government. Apalagi tambah dia, dengan proyek modernisasi melalui ideologi pembangunanisme, desa semakin terdesak dan hanya menjadi objek pemerintahan dan pembangunan semata. Desa lebih dianggap sebagai tradisional dan sumber masalah dan bukan sumber kekuatan.”Padahal UU ini kuat melihat desa sebagai harapan dan kekuatan baru,” kata dia.

Berlandas pada pengalaman di atas, sebut Pandie, posisi desa sangat paradoks. Ada dua perspektif perihal keadaan dan kondisi desa (masyarakat, pemerintahan, kelembagaan, kekayaan alam, kemiskinan dan keterisolasian), yaitu perspektif sebagai “raksasa tidur” yang dapat dibangkitkan atau atau direvitalisasi kekuatannya untuk mendorong kemajuan desa.

Demikian pula, kata dia, dari sudut pandangan yang lain, desa ibarat “raksasa sakit” yang perlu disehatkan kembali atau remedial, untuk mengubahnya dari pusat masalah menjadi pusat keunggulan.”Inilah dua dimensi paradoksial yang menurut saya perlu dikelola dengan bijaksana melalui skema inovasi pemerintahan desa menurut UU Desa,” katanya.

Menurut Pembantu Rektor I Undana ini, secara teoritik, kehadiran UU Desa ini meneguhkan kembali prinsip-prinsip community self-governing yang pada hakekatnya adalah suatu pengakuan tentang hak asli atau asali masyarakat yang diberi identitas sesuai kondisi budaya setempat, sebagaimana yang tertera secara eksplisit dalam pengertian desa dalam pasal 1 ayat (1).

Menurutnya, critical element dari self-governing dalam desa dapat mengacu pada tiga aspek, yaitu apakah pemerintahan sendiri itu adalah publik yang berbasis pada teritori atau pada etnis. Apakah pemerintahan sendiri memiliki cakupan regional, lokal ataukah hanya komunitas. Ketiga, pemerintahan sendiri yang dimaksud adalah pemerintahan yang otonom sama sekali ataukah masih memiliki ketergantungan secara administratif dengan unit pemerintahan lainnya secara vertical.

Jika desa diakui sebagai the-self, kata David Pandie, maka perlu dijelaskan lebih lanjut hak-hak yang melekat pada dirinya dalam suatu rumusan hak-hak asali atau asal-usul yang tentunya berbeda dari satu budaya ke budaya atau etnik lain.

Jika perumusan tentang makna operasional dari pemerintahan sendiri kabur, sebut David Pandie, maka akan membuka lubang jebakan barubagi bangkitnya pemerintahan sendiri dalam semangat ultra etnisitas yang diskriminatif.
Karena itu, jelasnya, desa tidak boleh menjadi komunitas yang tertutup dengan menerapkan politik chauvinisme atau dengan sindrom xenophobia yang justru membuatnya menjadi terisolasi dan terasing dari dunia luar sehingga melumpuhkan diri sendiri. (sho)

Komentar Anda?

Related posts