Kupang, seputar-ntt.com – Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome menjadi pembicara utama dalam seminal nasional tentang Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Di Daerah Semiringkai Kepulauan Serta Pengarusutamaannya dalam Kebijakan Pembangunan Nasional dan daerah. Kegiatan ini dilakukan oleh Undana di Hotel Naka, pada Selasa, (4/10/2016).
Pada kesempatan tersebut Marthen Dira Tome memaprkan apa saja yang telah dilakukan oleh Pemda Sabu Raijua bagimana supaya masyarakat di Pulau semi arit itu bisa survive. Dia mencontohkan bahwa pembangunan embung dalam jumlah yang cukup banyak di Sabu Raijua adalah langkah mengantisipasi kekeringan sekaligus menyaipkan air bagi pertanian.
“Apa yang kami bikin di Sabu Raijua karna memang sudah demikian kondisi kami yang ada disana. Jika itu dikatakan sebagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim, itulah yang kami lakukan. Kami saat ini sedang bekerja dimana orang lain masih memeikirkan tentang perubahan iklim itu sendiri kata Dira Tome.
Contoh lain yang dia sampaikan pada saat seminar yang dikuti oleh sejumlah pakar dan akademisi ini adalah tentang pembangunan tambak garam di Sabu Raijua. Banyak orang yang menganggap bahwa kamrau panjang dengan panas yang menyengat adalah sebuah hukuman. Bagi Dira Tome, panas yang diberikan Tuhan saat musim kemarau adalah berkat tersendiri.
“Ingat bahwa Sabu Raijua bukan pulau kutukan karena kondisi alamnya yang kering. Negeri ini hanya akan memberikan kesejahteraan bagi mereka yang mau bekerja keras dan sebaliknya akan memberikan kutukan dan penderitaan yang berkepanjangan bagi mereka yang malas bekerja. Tuhan menciptakan setiap pulau dengan potensinya masing-masing, tugas pemerintah bagimana menemukan sidik jari Tuhan Allah lewat potensi yang tersembunyi kemudian diolah untuk kepentingan rakyat” kata Dira Tome.
Dia mengatakan ada tiga potensi yang perlu dikelola di Pulau Raijua yakni garam, rumput laut dan penangkapan ikan. Untuk garam dan rumput laut kata Marthen, pemerintah telah mengurusnya dari hulu ke hilir dengan cara membangun pabrik pengolahan sehingga akan memberi nili tambah bagi masing-masing produk. Dengan demikian petani rumput laut akan terlepas dari cengkraman para lintah darat yang selama ini bermain harga rumput laut. Demikian juga dengan garam. Jangan pernah ragu untuk memproduksi garam sebab kebutuhan garam nasional mencapai 3 juta ton per tahun dan itu hanya ditutup dengan impor dari Cina, Australia dan India.
“Pertanyaanya kenapa tidak dari Sabu Raijua kenapa tidak dari NTT. Kenapa uang-uang tersebut harus dibawa keluar negeri kenapa tidak dibawa saja ke Sabu atau NTT,” kata Dira Tome
Untuk penangkapan ikan, kata Dira Tome, pemerintah akan menggunakan teknologi sehingga nelayan bukan lagi pergi mencari ikan tapi pergi mengambil ikan. “Dengan teknologi kita buat laut menjadi sempit dan tidak berdaya lagi menyembunyikan isi perutnya. Untuk itu saya minta masyarakat jangan pesimis, Tuhan punya rencana yang indah untuk Sabu Raijua dan NTT pada umumnya,” punkas Dira Tome.
Sementara Rektor Undana, Fred Benu saat membuka kegiatan seminar tersebut mengatakan, saat ini telah terjadi perubahan iklam yang mengkuatirkan akibat dari pemanasan global yang sedang terjadi. Perubahan iklim ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia.
“NTT terkenal sejak dulu sebagai Provinsi batu bertanah, bukan tanah berbatu, panas dan kering. Tapi kita sebagai orang NTT sudah terbiasa dan mengadaptasi diri. Namun perubahan iklim sekarang dengan durasi hujan yang lebih minim dan pendek membuat tiga tahun terakhir NTT kekurangan panen di bidang pertanian, perikanan dan peternakan. Karena itu kita sebagai masyarakat harus bisa mengadaptasi diri sesuai dengan perubahan iklim,” kata Fred Benu. (jrg)