Kupang, seputar-ntt.com – Sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa NTT memang masih terkategori miskin. Salah satu indikator yang membuat hati miris adalah ketika rakyatnya harus mengkomsumsi ubi beracun. Mereka harus bertarung dengan maut, sebab jika ubi ini salah olah maka maut sudah dekat menjempu mereka.
Kelaparan memang selalu berulang tahun di NTT, karena setiap memasuki bulan oktober hingga november puncak paceklik sudah terjadi. Tidak hanya ancaman kekeringan yang berdampak pasa sulitnya mendapatkan air minum, tapi pakan atau persediaan makanan pun pada saati itu sudah krisis.
Satu-satunya harapan mereka adalah bantuan dari pemerintah. Jika hanya bantuan yang diharapkan setiap tahun pada saat ancaman kelaparan maka Pemerintah boleh dibilang telah gagal dalam memberdayakan ekonomi masyarakat sehingga mereka bisa terlepas dari ancaman rawan pangan.
“Iwi sudah menjadi makanan pada saat kelaparan, sebab tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Jadi satu-satunya cara untuk mendapatkan makanan kami harus masuk ke hutan mencari iwi,” kata Luha Ratumana kepada wartawan di Desa Tanah Manang, Kecamatan Panguha Lodu.
menurutnya tidak semua orang bisa mengolah iwi menjadi bahan makanan yang layak dikomsumsi, sebab kalau salah mengolah, maka bisa mengancam nyawa akibat racun yang terdapat didalam iwi.
“Butuh waktu lama prosesnya, biasanya dibiarkan dulu dalam air sungai atau kali, kemudian dipotong kecil lalu dijemur. Kalau sudah kering kemudian ditumbuk menjadi halus lalu dimasak,” paparnya.
Anggota DPRD NTT, Jefri Un Banunaek yang dimintai pendapatnya terkait kasus ini mengatakan, kelaparan yang terjadi di pulau Sumba khususnya di Kabupaten Sumba Timur merupakan warning bagi pemerintah NTT maupun para Bupati. Sebab dengan berulang tahunnya ancaman kelaparan membuktikan bahwa pemerintah telah gagal bagaimana menyiapkan pangan bagi masyarakat.
“Salah satu tugas pemerintah adalah bagaimana menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif bagi masyarakat sehingga ancaman rawan pangan tidak terjadi. Kelaparan yang terjadi tidak hanya di Sumba, banyak tempat lain yang juga sama tapi tidak terekspos oleh media,” kata anggota DPRD asal TTS ini.(joey)