Kupang, seputar-ntt.com – Masyarakat NTT yang mengkonsumsi garam yodium sangat rendah yakni hanya 31 persen, sedangkan secara nasional 62 persen. Padahal garam yodium memiliki fungsi tiroid untuk kesehatan.
Hal ini disampaikan Kepala Perwakilan Unicef NTT, Purwanto Iskandar, pada Kegiatan Fokus Group Discussion Implementasi Perda Perlindungan Anak dan Kebijakan Pembangunan yang Berpihak pada Anak di NTT yang diselenggarakan Forum Parlemen NTT di Kupang, Senin (23/6/2014).
Menurut Purwanto, sebenarnya kebutuhan setiap orang akan garam sangat kecil dan biayanya sangat murah yakni hanya tiga kilogram per- tahun dengan harga Rp3. 000. Kebutuhan ini dipenuhi hanya sedikit saja setiap kali dikonsumsi. Jika konsumsi garam yodium sangat rendah, maka bisa menghilangkan 13 poin tingkat kecerdasan (IQ).
“Konsumsi garam yodium yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan berdampak pada gizi dan kesehatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak,” kata Purwanto.
Pada kesempatan itu ia menyampaikan soal status kesehatan balita di NTT, dimana sebanyak 58, 4 persen anak- anak di NTT terkategori sebagai anak dengan pertumbuhan pendek. Pertumbuhan anak seperti ini bukan disebabkan oleh faktor genetika atau keturunan, melainkan disebabkan oleh asupan gizi sejak anak masih dalam kandungan.
Karena itu ibu hamil harus mengkonsumsi makanan yang bergizi. Selain itu, bayi usia 0- 6 bulan harus diberi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan diberi makanan bergizi hingga usia dua tahun. Karena pertumbuhan otak bayi sejak dalam kehamilan hingga anak berusia dua tahun sebesar 80 persen. Sisanya hingga 100 persen ketika anak berusia 12 tahun.
“Anak yang mengalami gizi kurang bisa terjadi berulang dan atau dalam waktu lama. Selain itu, watu terjadinya pada periode yang sangat krit yakni sejak kehamilan sampai anak usia dua tahun,” papar Purwanto.
Ia menyatakan, ibu punya pengaruh yang sangat besar terhadap anaknya. Karena itu, asupan makanan bergizi harus dikonsumsi seorang ibu ketika sedang hamil. Lebih baik melakukan investasi terhadap bayi yang masih dalam kandungan daripada mengatasi masalah ketika anak sudah besar bahkan dewasa.
Ita Boekan mewakili Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT mengakui, pemerintah belum melakukan sosialisasi Perda 7/ 2012 tentang Perlindungan Anak, karena belum ada anggaran untuk kegiatan sosialisasi. Pasalnya, pada saat Perda itu ditetapkan, Badan ini masih berbentuk Biro. Sehingga anggaran yang dialokasikan untuk Biro masih sangat terbatas.
“Kami akan masukan anggaran untuk kegiatan sosialisasi pada tahun anggaran 2015 mendatang,” ujar Ita.
Ia menambahkan, anak merupaka ciptaan Tuhan yang mempunyai hak- hak azasi yang perlu dilindungi. Perlindungan hak anak merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, orang tua dan keluarga. Keberhasilan implementasi Perda ini tergantung pada komitmen, tanggung jawab dan konsistensi semua pihak.(joey)