Sore hari pada Jumat, 1 Maret 2024, aku dan seluruh ketua-ketua wilayah hadir di gereja untuk mendengar arahan dari pengurus gereja, bahwa akan ada hajatan besar di gereja pada hari minggu nanti. Dalam sebuah persiapan hajatan besar di gereja, kami menyatu dalam kebersamaan. Semua unsur organisasi dalam lingkup gereja pun hadir dalam rapat itu. Setelah selesai mendengar arahan, kemudian kami langsung lakukan beberapa giat, mulai dari merapikan dan menghiasi ruangan gereja sampai penataan kursi-kursi dan juga alat-alat sound system.
Setelah pekerjaanku selesai, aku berjalan ke samping gedung gereja. Di situ duduk beberapa rekan pelayan, dan aku berbaur dengan mereka. Ternyata mereka sedang membicarakan hal yang serius, aku mencoba bertanya hal serius apa yang sedang dibicarakan, dengan antusias pak Yunus menceritakan apa yang dari tadi mereka bicarakan. Begini ma E’en, kemarin ketua-ketua bidang diundang ke gereja bertemu pengurus, untuk mendengar dan menerima hasil rasionalisasi anggaran. Aku dan beberapa teman serius mendengar cerita Pak Yunus. Lanjut Pak Yunus bercerita,; nah kebetulan saya ini adalah ketua bidang marturia saya hadir, dan ternyata anggaran bidang marturia tidak berubah, sama seperti rumusan awal. Lalu untuk apa kita rapat komisi dan pleno, makan waktu 3 hari, buang-buang anggran saja. Jadi Pak Yunus terima hasil itu? aku bertanya untuk memastikan. Yaaaa.. mau bagaimana lagi itu sudah keputusan.
Ibu Hanna yang adalah ketua bidang Oikonomia menyambung cerita Pak Yunus. Kalau saya beda lagi, dalam undangan itu kan kita diminta hadir pukul delapan pagi sampai jam 3 sore. Bayangkan, itu kan hari kerja, kita yang orang kantoran pasti agak kesusahan membagi waktu. Cerita ibu Hanna dengan ekspresi kesal. Jadi saya langsung kontak telepon gereja, kebetulan yang menerima telepon itu Pak Hirosimus, dan saya langsung minta ijin bahwa waktu yang dijadwalkan dalam undangan itu saya tidak bisa, dan apa yang Pak Hirosimus jawab? Kami menunggu cerita ibu Hanna dengan penasaran. Pak Hirosimus dengan enaknya bilang, kalau begitu apapun hasil rasionalisasi ibu harus terima ya. Saya langsung balas, yaaaa.. tidak apa Pak, bukankah itu sesuai dengan skenario dan yang pengurus gereja harapkan kan?, Langsung aku tutup telepon, jengkel karena dapat respon demikian dari Pak Hirosimus.
Om Ishak yang adalah ketua bidang Diakonia, melanjutkan cerita ibu Hanna dengan penjelasan yang menurutku cukup keras, kebetulan beliau orang yang paham organinasi dan aturan-aturan gereja. Dengan suara yang sedikit berat, beliau mengawali penjelasannya dengan kalimat “Ini Rapat anggaran pelayanan yang paling buruk dalam sejarah di gereja ini”. lanjut Om Ishak menjelaskan, Kenapa saya bilang buruk? Tidak ada yang namanya pengambilan keputusan diluar forum rapat lengkap. Kalaupun ada yang harus dirumuskan kembali secara rasionalisasi untuk mensinkronkan dengan rancangan pendapatan, maka hasilnya harus disampaikan dalam rapat lengkap juga, bukan dengan cara undang satu-satu ketua bidang untuk menerima hasil rasionalisasi itu. Ini licik, demi mempertahankan dan menyembunyikan anggaran siluman yang sudah mereka susun. Maksudnya apa om Ishak bilang seperti itu? Tanyaku dengan spontan. Masih dengan suara yang tegas dan berat, om Ishak menyambar pertanyaanku,; yaaa.. ada apa sehingga tidak mau sampaikan dalam rapat, kenapa hasil rasionalisasi itu tidak diedarkan saja semuanya kepada kita. Kenapa kita tidak boleh tahu hasil rasionalisasi dari anggaran belanja rutin? Bila tidak transparan artinya ada yang disembunyikan dan ditutupi. Dengan cara seperti itu, secara tidak langsung kita dipaksa menerima hal yang tidak kita tahu. Tapi ketika ada evaluasi nanti, mereka akan berseloroh ini hasil keputusan rapat. Semua yang duduk saat mendengar perkataan Om Ishak jadi paham.
Beberapa rekan yang awalnya duduk bersama sedikit bergeser menjauh, ada yang jalan ke arah depan gereja, karena saat itu tiba-tiba pak Tigor muncul dari belakang gereja, dan om Ishak berjalan menghampiri pak Tigor, mereka seperti sedang berbicara serius dengan gerakan tangan yang turut menerjemahkan pembicaraan mereka. Aku tidak berpindah dari tempat duduk, dan sedikit menyimpulkan cerita rekan-rekanku tadi; semua persis seperti yang aku duga, tidak ada yang berubah dari proses rasionalisasi tersebut. Semua sesuai dengan rumusan awal, padahal sudah digodok dan dipertimbangkan dalam rapat komisi yang kemudian dibawa ke rapat pleno anggaran. Hmmmm ,,,bagaimana dengan ANGGARAN BELANJA RUTIN, yang kurang lebih dua Milyar itu? Apa hasil rasionalisasi terhadap ANGGARAN BELANJA RUTIN itu? Apa masih tetap seperti rumusan awal mereka?. Hal ini dikarenakan dalam undangan pertemuan dengan pengurus inti gereja tersebut, masing-masing bidang cuma hadir dan mendengar hasil rasionalisasi anggaran masing-masing bidang, tanpa diberi dokumen atau print out hasil rasionalisasi baik anggaran belanja program setiap bidang pelayanan, maupun ANGGARAN BELANJA RUTIN.
Aku berdiam diri dan terbesit pertanyaan; apa mereka tidak takut ya? Mungkin bagi mereka itu hak mereka karena sudah bekerja, dan itu jadi berkat nantinya. Tapi dengan proses licik mengabaikan kejujuran, mengenyampingkan transparansi, mengorbankan anggaran yang seharusnya lebih besar untuk UMAT, semua menyatu dalam skenario bulus, apa iya dapat disebut sebagai BERKAT?. Ahhhhh sudahlah aku tidak berhak menghakimi mereka, kalau itu hal yang salah, dan tidak alkitabiah, biar Tuhan yang akan berperkara. Akupun kemudian beranjak dari tempat itu, berjalan kembali ke dalam ruang gereja sambil menghilangkan semua itu dari pikiranku, di dalam gereja aku kemudian menyatu lagi dengan ketua-ketua wilayah laiinya.
Namun sama saja, maunya tidak memikirkan hal itu lagi, kebetulan aku duduk dengan nona Sharah, salah satu ketua wilayah juga. Nona Sharah bertanya kepadaku,; oma E’en sudah dapat kiriman cerpen yang terbit di media online belum? Aku mengerutkan dahi dan balas bertanya, cerpen apa non? Nona Sharah mengambil hand phone-nya dan menunjukan kepadaku dua link, yang di atasnya tertulis semacam judul dengan kalimat “Layani Tuhan atau mamon” dan yang satunya bertuliskan “Domba-domba di rumput kering dan GEMBALA DI RUMPUT HIJAU” . Aku merampas Hand phone dari tangan nona Sharah, sambil bertanya, non ini link apa, dan Ini judul apa?, apa ini semacam renungan harian? Nona Sharah mengambil kembali hand phone–nya dari tanganku dan menjelaskan,; oma, ini link cerpen dan tulisan di atas itu adalah judul cerpennya. Aku tambah penasaran. Ohhh cerpen, tapi itu cerpen tentang apa non?. Nona Sharah dekatkan wajahnya tepat di bahu kiriku, seraya berbisik,; oma, saya sudah kirim link-nya ke oma, nanti oma baca saja, pokoknya cerpen ini tentang gambaran carut marutnya praktek memanfaatkan dan mengelola keuangan gereja dengan tidak adil yang dilakukan oleh pengurus gereja.
Rasa penasaranku membuatku berjalan meninggalkan nona Sharah menuju ke ruangan di belakang gereja, kebetulan ruangan itu sepi, kemudian aku mengambil waktu 15 – 30 menit untuk membaca dua cerpen ini. Berbagai ekspresi tak terkontrol yang spontan dari wajah, dan tanganku, mengambarkan begitu gemasnya aku membaca cerpen ini, dan anehnya kenapa sama seperti yang aku rasakan dan terjadi di gereja ini? Tiba-tiba aku dikagetkan oleh om Ongen, biasa disapa om Onet, seorang petugas bersih-bersih di gereja. Oma ada baca cerpen yang lagi viral itu ya?. Tanya om Onet dengan senyum lebar. Haaahh viral? Ini cerpen viral? Aku balik bertanya. Iya oma, hampir semua UMAT sudah membaca dan jadi bahan cerita-cerita di wilayah masing-masin. Dan banyak saudara-saudara saya di kabupaten sana malah posting di Facebook. Dengan mata terbelalak, mulut menganga dalam pikiranku, berarti kisah seperti ini sebenarnya sudah jadi keresahan sebagian besar UMAT. Oma saya lanjut bersih-bersih dulu ya, om Onet berpamitan. Ehhh sabar… sabar.. oma mau Tanya, siapa penulis cerpen ini? Aku bertanya penasaran. aduuhh oma , saya tidak tahu. Oma sudah seperti petinggi gereja saja, tadi mereka tanya saya siapa penulis cerpen yang viral itu. Sudah oma saya lanjut kerja dulu, om onet kembali berpamitan. Aku kembali membaca cerpen kedua secara perlahan-lahan. Hampir satu jam aku pakai untuk membaca dua cerpen ini. Sejenak aku berpikir, apa kisahku ini dibuat saja dalam bentuk cerpen,tapi aku tidak pandai menulis. Melihat Jam dalam hand phone menunjukan pukul 20.00, Akupun langsung bergegas berjalan pulang.
Aku baru sadar, dari tadi aku tidak melihat si Rizky, dimana dia? Ingin sekali aku sampaikan informasi –informasi terbaru ke dia. Sambil berjalan aku terus menoleh sekeliling, sesampai di depan gereja aku melihat Rizky sedang berjalan dengan seorang bapak, yang kalau tidak salah namanya Pak Darius. Beliau salah seorang gembala di gereja lain, dan yang aku tahu Pak Darius ini akrab dengan petinggi – petinggi gereja besar. Mereka berdua menyapaku dan Pak Darius sedikit membisik; gereja ini luar biasa. Aku sedikit penasaran apa maksudnya berkata demikian. Kemudian aku mencoba bertanya; ahhh pak Darius kenapa bicara begitu? Beliau tersenyum. dan menjawab aku, ahhh tidak maksud saya gereja ini beberapa bulan ke depan akan ada hajatan besar lagi, yaahhh hidup itu ada pertemuan dan ada perpisahan. Aku masih belum paham dengan maksud pak Darius, lalu dia menyambung menjelaskan maksudnya, mungkin dia melihat wajah aku yang penuh kebingungan; yaaa semoga nanti umat-umat di gereja ini mendapat gembala yang benar-benar memperhatikan domba-dombanya. Pak darius langsung berjalan menuju ke mobilnya yang sudah terparkir di depan gereja. Penasaran dengan perkataan Pak Darius, aku bertnya ke Rizky, apa maksud Pak Darius berbicara seperti itu? Rizky tersenyum dan menjawab, nanti juga oma akan tahu. Rizky pun berpamitan untuk pulang, aku cepat menahannya dan menunjukannya Link Cerpen yang aku baca tadi,; nak Rizky sudah baca dua cerpen ini? Rizky berbalik menatap gedung gereja lalu menanggapiku, “ketika mulut dibungkam, dan bersuara pun seperti tidak ada arti, maka orang akan memakai jari-jemarinya untuk bersuara”. Lalu dia kembali menatapku dan berpamitan. Aku tertegun, kemudian tersenyum dan berkata dalam hati, teruslah bersuara dengan caramu nak. Aku pun berjalan pulang dengan sukacita. _GM
SELESAI
Catatan Penulis:
• Tidak perlu tersinggung dengan cerita dalam cerpen ini, karena tidak ada satu pun lembaga dan nama gereja yang disebutkan.
• Bila ada kesamaan realitas dengan cerita ini di gereja tertentu, yang perlu dilakukan adalah sadar dan intropeksi diri, apa saya sudah menjadi pelayan dan gembala yang baik ?