Memaknai Politik dalam Perspektif Gereja Katolik

  • Whatsapp

OPINI

PENDAHULUAN

Politik pada hakikatnya adalah sebuah dorongan kodrati (animal politicon). Manusia berpolitik sebagai akibat dari dimensi sosialitas dalam dirinya sendiri. Hal ini berpadanan dengan istilah politik itu sendiri. Politik berasal dari bahasa Yunani, polis: warga kota. Dalam kehidupan Yunani Kuno, polis sangat berkaitan dengan partisipasi masyarakat kota dalam membangun negara. Dewasa ini, berpolitik dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang kotor dan juga dapat menyusahkan banyak orang. Anggapan ini seringkali didasarkan pada realitas perpolitikan di Indonesia yang selalu menampilkan wajah buram dan penuh tipu daya. Tentunya anggapan ini kurang benar karena pada dasarnya anggapan demikian tidaklah menggambarkan situasi politik, tetapi hal tersebut lebih mengarah kepada kecenderungan para politisi kita dalam menjalani politik. Dalam kenyataan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa orang-orang Katolik juga adalah orang-orang yang berpolitik. Orang-orang katolik juga menjadi bagian dalam tatanan pemerintahan yang seharusnya bekerja untuk kebaikan bangsa Indonesia. Lantas apakah sebenarnya politik itu ?

MEMAKNAI TERMINOLOGI POLITIK

Politik secara umum diartikan sebagai bentuk pelaksanaan hidup berbangsa-bernegara yang dilakukan dalam kehidupan publik. Ia bisa menjadi bentuk keterlibatan di tempat kerja, di perkumpulan-perkumpulan, maupun dalam kelompok masyarakat sipil. Di Indonesia sendiri, politik praktis menjadi hak setiap warga Negara yang tidak dapat diganggu gugat. Negara memberikan kewenangan seluas-luasnya kepeda warganya untuk turut serta dalam berpolitik praktis demi tercapainya kebaikan umum (bonum commune). Hal ini menyebabkan kaum awam Gereja Katolik sebagai kelompok terbesar dalam susunan Gereja Katolik juga dapat secara bebas melakukan politik praktis dengan terlibat aktif dalam peran sebagai wakil dalam badan eksekutif, yudikatif dan legislative serta dalam mengutarakan pandangan politik. Lantas sejauh mana Gereja diizinkan untuk berpolitik ?

Dalam kosa kata bahasa Inggris, istilah ‘politik’ diterjemahkan dalam tiga kata berbeda : policy, politics dan polity. Pertama, policy (kebijakan). Kata ini adalah arti luas dari kata politik. Dalam hal ini politik dimengarti sebagai tindakan public di segala bidang dan mencakup arah, sasaran, isi dan program politik. Jadi, arti politik dalam kata ini berhubungan dengan civil society. Kedua, politics. Kata ini dipahami sebagai tindakan untuk merebut kekuasan politik. Dan inilah arti sebenarnya dari kata politik. Pihak-pihak yang terlibat dalam politik sebagai politics adalah para politisi, partai politik, aparat negara; Dan ketiga, polity. Kata ini merujuk pada subsistem politik, seperti dalam hal ini bidang kenegaraan dan tata susunan politik. Inilah birokrasi pemerintahan.

Dari ketiga terminologi kata di atas, maka pertanyaan mengenai apakah Gereja (kaum tertabis) bisa berpolitik jawabannya ialah “ya”, bahwa Gereja bisa berpolitik. Kaum tertabis bisa berpolitik dalam artian politik sebagai policy yaitu memperjuangan hak-hak public sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik 237 , bahwa: Pertama. Para klerus hendakanya selalu memupuk damai dan kerukunan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia. Kedua, jangalah turut mengambil bagian secara aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh , kecuali menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum. Sedangkan untuk kaum awam, politik bisa dilakukan dalam artian ketiga kata tersebut. Jadi, politik adalah sebuah dorongan kodrati dalam diri manusi demi memperhatikan masyarakat secara keseluruhan. Namun, esensi politik itu sendiri akan menjadi gugur, kalau seorang politisi hanya memberikan perhatian pada kelompok masyarakat tertentu dan bukan kepada masyarakat secara keseluruhan.

PROBLEMATIKA POLITIK DEWASA INI

Politik akan menjadi sesuatu yang ‘problematik’ kalau esensi dari politik itu sendiri tidak dapat dipertanggung jawabkan secara aktual. Politik bukan saja persoalan ‘permainan kata-kata’ seperti dalam kampanye, tetapi bagaimana kata-kata itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas secara aktual. Hal inilah yang menjadi tantangan sekaligus sesuatu yang problematis dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Berdasarkan apa yang terjadi perhatikan selama ini, saya melihat semacam ada ketegangan antara apa yang terjadi di atas lapangan ketika berpolitik dengan tuntutan etis dari dalam diri politik itu sendiri (esensi politik) dalam mengaktualisasikan nilai politik.

Adalah sesuatu patut dipersoalkan kalau nilai politis itu sendiri diabaikan. Politik mengharuskan setiap politisi untuk bergerak sesuai dengan esensi politik, yaitu memperhatikan masyarakat secara keseluruhan, karena politik itu sendiri adalah sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat secara keseluruhan dalam hubungannya dengan membangun negara. Jadi, kalau seorang politisi bergerak di luar tuntutan etis sendiri, maka ada dua konsekuensi yang mesti ia terima : Pertama, esensi politik menjadi gugur. Politik dalam dirinya sendiri berurusan dengan masyarakat secara keseluruhan. Dan kalau seorang politisi hanya memperhatikan masyarakat secara kelompok tertentu, maka dengan sendirinya nilai politisnya menjadi gugur. Kedua, ia menyangkal dorongan kodratinya. Sesungguhnya kodrat manusia selain sebagai makhluk individualitas, di sisi lain ia juga adalah makhluk sosial. Perpedanan dengan dimensi sosialitas tersebut, kalau seorang politisi hanya bergerak pada tujuan kelompok tertentu maka dimensi sosialitas (masyarakat secara keseluruhan) pun menjadi gugur. Dalam hal ini ia telah menyangkal kodratnya secara praktis

BAGAIMANA GEREJA BERPOLITIK

Dalam menghadapi realita bahwa Gereja (kaum awam dan tertahbis) adalah anggota masyarakat maka dalam kehidupan sehari-hari mereka wajib memberi partisipasi yang nyata dalam proses mancapai kebaikan bersama (bonum comunnae). Dalam pada itu, perlu untuk diketahui bersama bahwa dimensi politik terdapat salam diri setiap orang tanpa terkecuali kaum tertahbis dalam Gereja. Namun, seperti sudah saya jelaskan di atas bahwa kaum tertahbis memiliki batasannya. Mereka melakukan politik dalam artian policy atau memperjuangkan hak-hak public, sedangkan dalam artian politik sebagai politics kaum tertabis dilarang oleh hukum untuk melakukan kegiatan aktif/ merebut kekuasaan politik (Bdk. KHK 237).

Di sisi lain, bagi kaum awam, partisipasi dalam kegiatan politik secara aktif adalah sesuatu yang tidak dipersoalkan sejauh ia masih berpegang teguh pada prinsip etis dari politik itu sendiri. Dengan melihat tatanan hidup politik di Indonesia yang dipenuhi oleh banyak tindakan kotor seperti tindak korupsi, aksi kekerasan dan keributan perebutan kekuasaan, umat awam yang berpolitik seharusnya melihat pekerjaannya itu sebagai ladang bagi dia untuk dapat berbuat baik. Selain daripada itu, Politik sebagai pengaktualisasian nilai-nilai sosial dalam diri kita, dapat juga dipandang sebagai suatu panggilan dari Allah. Inilah dimensi transendental dari politik dimana politik bukan saja berkaitan dengan nilai-nilai humanisme tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai transendental. Mengapa? Karena sejak penciptaan manusia pertama Allah telah memberikan mandat kepadanya untuk menjaga, menata, dan menggunakan alam ciptaan ini dengan sebaik-baiknya ( Bdk Kej 1:28). Jadi, sifat kata ‘politik’ dalam konteks ini, tidak saja hanya dibatasi pada relasi manusia, tetapi juga menjangkau seluruh makhluk hidup yang lain.

Oleh sebab itu, tugas manusia bukan saja ‘beranakcucu’ (aspek sosial-humanisme) tetapi juga merawat, menata dan menggunakan alam dengan baik (aspek sosio-ekologis). Jadi, transendensi politik berarti menyatukan seluruh tatanan dunia kepada manusia dan dalam penyelenggaraan manusia. Adalah salah kalau seorang politisi hanya memperhatikan kehidupan manusia dan mengabaikan kehidupan ekologis. Dalam persoalan ini saya menyebutnya sebagai persoalan eksplotasi lingkungan hidup. Persoalan eksploitasi lingkungan hidup juga merupakan sebuah persoalan politis yang tidak sesuai dengan nilai transendensi politik itu sendiri. Pelbagai bentuk pengrusakan lingkungan hidup merupakan suatu tindakan pengguguran makna politik itu sendiri sebagai sesuatu yang bersifat transendental.

PENUTUP

Persoalan politik adalah persoalan yang pelik dewasa ini. Politik akhir-akhir ini seperti dipersempit pada tatanan parsialitas atau pada kelompok tertentu. Hal lain dari kejanggalan politik itu sendiri, ialah istilah ‘politik’ hanya diperuntuhkan bagi manusia dan hanya menjangkau manusia (dimensi sosial-kodrati ). Namun, di sisi lain tanpa disadari politik bukan hanya persoalan aktualisasi dimensi sosialitas dalam diri, tetapi lebih daripada itu sebagai suatu panggilan dari Allah untuk menata kehidupan alam ini. Inilah yang perlu disadari oleh seorang politisi. Jadi, ada dua tuntutan yang mesti dipenuhi oleh seorang politisi dan orang yang akan menjadi seorang politisi : pertama, tuntutan untuk memperhatikan masyarakat secara universal; Dan kedua, tuntutan untuk menata alam, lingkungan hidup sebagai sumber kebutuhan manusia, (sosialitas-ekologis), yaitu berhubungan dengan relasi manusia dengan lingkungan hidup. Dan untuk relasi yang kedua inilah (transendensi politik) yang perlu kita perhatikan dalam kehidupan sosial kita sebagai seorang manusia yang hidup bersama dengan alam, lingkungan hidup.

Penulis : Marianus Eman Manek

 

Komentar Anda?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *