Membangun NTT Lewat Konsep Ekonomi Biru

  • Whatsapp
Para pekerja tambak sedang memanen garam di Desa Bodae, Kecamatan Sabu Timur

Sabu, seputar-ntt.com – Terik matahari di pantai Bali, Desa Bodae, Kecamatan Sabu Timur, pada 30 Oktober 2023 benar-benar membakar ubun-ubun. Hamparan tambak garam yang sementara dipanen seperti sedang menantang matahari. Dulu tambak garam itu, dikelola oleh pemerintah daerah, tapi kini sudah ada pihak swasta yang mengembangkan tambak garam di Sabu Raijua. Sebuah perusahaan bernama Nataga RaiHawu Industri (PT. NRI) sedang melakukan pengembangan tambak garam di Sabu Raijua. Perusahaan tersebut dibawah pengawasan mantan Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome.

Menjelang senja, puluhan pekerja yang terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak sibuk mengumpulkan kristal-kristal garam dalam tambak garam di desa pesisir di Pulau Sabu itu. Suara mereka nyaris tidak terdengar karena tenggelam oleh suara ombak yang memecah sepanjang garis pantai. Sejauh mata memandang, hamparan pasir putih, air laut jernih dan langit biru menambah kecantikan Bodae, yang menghadap ke Samudra Hindia.

Pemandangan di pantai Bali dengan hamparan lahan tambak garam menunjukkan bahwa Nusa Tenggara Timur tidak miskin jika setiap potensi dikelola dengan tepat. Panas yang membakar dan angin yang berhembus kencang merupakan faktor penting bagimana garam terbentuk dalam kualitas terbaik. NTT yang memiliki garis Pantai yang cukup panjang yakni 5.700 kilometer dan luas laut 15.141.773,10 hektare adalah kekayaan tersebunyi yang belum pernah dikelola secara maksimal oleh para pemimpin di negeri bernama Flobamora itu.

Marthen Dira Tome menjelaskan, saat ini sudah ada 32 hektar yang dikelola oleh PT. NRI. Setiap hektar dikelola oleh kelompok dengan jumlah sepuluh orang. Dengan demikian maka sudah ada 320 pekerja tambak garam dibawah kendali PT. NRI. Dulu hal yang sama dilakukan saat dirinya masih menjabat Bupati Sabu Raijua yang mengelola 121 hektar lahan tambak garam. Para pekerja tambak garam menerima upah Rp1,2 juta per bulan atau sesuai upah minimum provinsi.

Tadinya, warga kampung tersebut nyaris tidak punya pendapatan terutama pada musim kemarau seperti saat ini, sawah dan kebun tidak diolah karena krisis air. Bila kemarau tiba, satu-satunya sumber pendapatan warga berasal dari menjual gula merah cair hasil sadapan lontar (Borassus flabellifer) ke kota.

Warga baru kembali mengolah lahan untuk ditanami padi dan jagung saat hujan tiba. Hanya beberapa orang yang berprofesi ganda sebagai petani sekaligus nelayan. Kesulitan warga perlahan teratasi sejak tambak garam dibangun pemerintah daerah setempat pada 2013. Sejak itu, warga mulai memiliki pendapatan tambahan karena direkrut menjadi pekerja tambak.

Marthen Dira Tome mengatakan, sebelum presiden SBY bicara tentang blue economi atau ekonomi biru yang mengandalkan sumberdaya kelautan sebagai sumber penghasilan, jauh sebelumnya dia telah menerapkannya di Kabupaten Sabu Raijua. Dia melakukan pola pendekatan amphibi yang digelorakan untuk masyarakat Sabu Raijua bagaimana mengelola potensi yang ada di laut maupun darat.

Pola pendekatan amphibi adalah cara memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa ketika daratan tidak bersahabat untuk memberikan penghasilan, maka semua harus turun ke laut, demikian juga, jika lautan tidak lagi berteman, maka daratan akan menjadi tempat yang aman untuk mencari hidup. Dengan pola pendekatan amphibi ini telah menggenjok ekonomi masyarakat Sabu Raijua yang selama ini terlena dengan kondisi yang selalu dianggap takdir.

Marthen Dira Tome menyadari bahwa salah satu pemicu terjadinya kerawanan sosial dalam masyarakat adalah faktor kesenjangan ekonomi dan kehidupan yang serba sulit. Banyak orang yang stres dan pusing tujuh keliling jika didapur tidak lagi berasap dan saat perut melilit tak tersisi, maka pelariannya akan mengarah kepada hal-hal yang negatif. Itulah kenapa saat dirinya maju menjadi calon bupati dia menempatkan salah satu misi utama adalah peningakatan ekonomi masyarakat.

Berkaca dari sumberdaya alam di daratan yang tidak kaya, telah membuat Marthen Dira Tome harus berpaling melihat birunya laut Sabu yang selama ini hanya terkenal dengan ganasnya ombak dan luasnya wilayah laut. Secara tegas dia mengatakan bahwa selama ini orang Sabu Raijua hanya cukup dengan berbangga akan ganasnya dan luasnya laut Sabu sementara hasil buminya dikeruk oleh nelayan luar dengan cara maling.

Pepatah orang Sabu yang selalu dinyanyikan dalam syair Mata Mara Dahi Unu Pala Dokehia seperti melecut jiwa Marthen Dira Tome. Dia tidak mau orang sabu hanya mengais rejeki pada saat laut surut, dia mau orang Sabu harus mampu mengelola setiap sumberdaya yang ada dalam laut. “Kita hanya bangga dengan laut kita yang luas dan ganas, sementara hasil kekayaan laut kita diambil oleh orang luar. Kita tidak mau hanya menjadi penonton, sehingga berbagai bantuan kita berikan kepada nelayan, ”ungkap Marthen Dira Tome.

Menyadari hal ini, maka berbagai bantuan diseting dalam anggaran oleh Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua. Mulai dari bantuan perahu kecil hingga perahu besar dilengkapi dengan peralatan penangakan yang modern. Hasilnya tidak mengecewakan, hal ini terbukti dengan hasil tangkapan nelayan yang cukup bagus setelah dibantu dengan perahu dan peralatan yang lebih modern.

Demikian juga dengan geliat rumput laut di sepanjang pesisir pantai Sabu Raijua. Rumput laut menjadi primadona penghasil rupiah bagi masyarakat. Dari data yang ada, sebanyak 388 kepala keluarga pembudidaya rumput laut mengitasi hampir seluruh seluruh pesisir. Dari situ ada 10 ton rumput laut kering yang bisa diproduksi oleh masyarakat di Sabu Raijua dari luas area budidaya 1.160 hektar lahan.

Geliat budidaya rumput laut ini begitu tinggi lantaran bantuan pemerintah kepada para petani rumput laut tidak sedikit, mulai dari tali hingga bibit unggul. Intervensi pemerintah tidak hanya lewat bantuan, tapi juga pelatihan-pelatihan bagimana membudidaya rumput laut secara modern. Bupati dan wakil bupati tidak pernah sungkan untuk turun berbasah-basah dilaut ketika hendak melakukan panen maupun menanam bibit bersama masyarakat.

“Sejak rumput laut di Sabu mulai berkembang dengan bantuan dan pelatihan dari pemerintah lewat dinas kelutan dan perikanan, maka menjadi petani rumput laut adalah pilihan kami saat ini. Dari hasil rumput laut kami bisa bangun rumah dan bisa menyekolahkan anak-anak dengan baik,” ungkap Mikael Ga Djami, petani rumput laut di Kelurahan Limaggu Sabu Timur.

Melihat potensi rumput laut yang begitu bagus di Kabupaten Sabu Raijua, maka Marthen Dira Tome merancang anggaran untuk pembangunan Pabrik rumput laut di Kelurahan Limaggu Sabu Timur yang kini gedungnya sudah berdiri megah. Dalam waktu tidak lama lagi, mesin rumput laut sudah dipasang dan akan segera berpoduksi. Walupun sempat bersitegang dengan DPRD mengenai anggaran pembangunan pabrik hingga pengadaan mesin, namun tidak mengurungkan niat Bupati Marthen Dira Dira Tome untuk pabrik rumput laut tetap jalan.

Tujuan pembangunan rumput laut, tidak hanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tapi juga untuk menghindarkan petani rumput laut dari para cukong dan lintah darat yang seenak perut mereka mempermainkan harga rumput laut ditingkat petani. Dengan mengolah rumput laut menjadi setengah jadi maka harga jual akan berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan hanya sekedar menjual rumput laut kering keluar pulau Sabu Raijua.

Strategi samudera biru dengan pola pendekatan amphibi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dilanjutkan dengan pembangunan tambak garam. Bagi Marthen Dira Tome, panas terik dan kemarau panjang selama sembilan bulan di Sabu Raijua, adalah anugrah Tuhan yang harus dikelola secara baik. Salah satu manfaat dari kemarau panjang dan panas yang cukup luas biasa ini membuat Marthen Dira Tome berpikir untuk mengembangkan garam di Sabu Raijua.

Marthen dira Tome mengisahkan, untuk pengembangan garam, pemerintah langsung tancap gas dengan menggunakan teknologi geomembran. Teknologi mutahir saat ini untuk memproduksi garam dalam jumlah yang banyak sekaligus memikili kualitas yang sangat tinggi. Dari satu hektar lahan bisa memproduksi 15 ton garam mentah dalam kurun waktu 10 hari. Dengan demikian maka dalam sebulan, lahan satu hektar mampu memproduksi 45 ton garam.

Jika dijual dengan harga seribu rupiah saja per kilogram garam mentah maka bisa dihitung berapa puluh ribu ton produksi dalam setahun. Lalu jika diolah menjadi garam beryodium untuk dikomsumsi maka keuntungannya akan berkali lipat dan bermuara pada peningatakan PAD yang luar biasa. Ini pula yang mendasari tujuan pemerintah membangun pabrik garam beryoduim di Sabu Raijua sehingga bisa dijual dengan harga yang bersaing. Inilah yang memicu Marthen Dira Tome untuk melakukan pengembangan Garam di Sabu Raijua, karena selain hasil nya yang puith mengkristal, kualitasnya juga sangat tinggi.

Tidak heran ketika banyak pengusaha kini sudah memesan garam dari Pulau Sabu Raijua, padahal kabupaten yang dianggap miskin ini tidak pernah dibantu oleh pemeritah pusat sama seperti Kabupaten lain di NTT yang diberi bantuan namun hasilnya nihil. Pemerintah Sabu Raijua telah melakukan inovasi bagimana mengolah potensi alam dengan sumber dana sendiri.  Karena itu, tidak heran ketika, Kabupaten Alor harus telah melakukan studi banding tentang pengelolaan tambak garam di Sabu Raijua. Sabu Raijua telah meratas sumbu Ilmu pengetahuan bagi Kabupaten lain di NTT.

“Tidak hanya target PAD yang akan meningkat, Tapi tujuan kita untuk membuka lapangan kerja untuk anak-anak di daerah ini juga terbuka. Dengan mempekerjakan 10 orang untuk satu hektar lahan tambak, maka dari 32 hektar hektar lahan yang ada saat ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 320 orang. Kita kasih mereka gaji yang cukup,” terang Marthen.

Ulasan diatas hanya sebagaian dari apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua bagaimana mengelola potensi yang ada di laut. Ini bisa dilakukan secara masif di semua wilayah NTT jika gubernurnya melihat potensi laut yang ada di NTT. Kekurangan garam nasional bisa diantisipasi oleh NTT dan tidak lagi mengandalkan garam impor dari negeri kanguru, Australia. Semoga ada calon gubernur yang akan bertarung pada Pilkada 2024 yang akan melihat laut sebagai sumber kekayaan yang musti dikelola untuk kehidupan rakyatnya. Harapan untuk mengelola laut sebagai sumber kekayaan itu kami titipkan pada mereka yang punya mimpi dan cita-cita menjadi pemimpin NTT kedepan. Pada Frans Go, pada Melki Laka Lena, pada Ansy Lema dan pada siapapun nanti yang akan bertarung di Pilgub NTT. (joey rihi ga)

Komentar Anda?

Related posts