Lingkungan kini menjadi isu dunia dengan istilah “Environmental Ethic”. Hal ini diakibatkan oleh kekhawatiran dunia terhadap kondisi bumi yang makin tidak stabil seperti global warming, sampah plastik, kebakaran hutan, pengundulan hutan, aktivitas pertambangan, pengeboman ikan di laut, pencemaran laut dan sebagainya.
Kasus-kasus ini menurut para pakar lingkungan dan aktifis lingkungan telah ikut membuat bumi menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan ini membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia seperti ketidakmenentuan iklim/cuaca, timbulnya banyak penyakit akibat sampah, berkurangnya hasil tangkapan di laut, bencana banjir dan tanah longsor, berkurangnya debit air, terganggunya rantai makanan dan efek negatif lainnya.
Kondisi ini telah membangun kesadaran dunia untuk segera mengambil langkah konkrit untuk mengatasi kasus-kasus lingkungan di atas. Kendati demikian, sampai saat ini gerakan-gerakan sadar lingkungan yang digaungkan belum sepenuhnya mampu mengatasi kerusakan lingkungan.
Negara-negara telah memasukan isu lingkungan dalam program-program pemerintahannya dalam kementrian terkait dengan alokasi anggaran yang terus meningkat.
Harapan selanjutnya adalah kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak ikut merusak lingkungan demi kelangsungan kehidupan di bumi secara bersama.
Salah satu fenomena dalam dunia pendidikan yang secara tidak langsung berpotensi ikut merusak lingkungan adalah penggunaan kertas secara berlebihan.
Diketahui bahwa bahan baku pembuatan kertas adalah dari pohon (tumbuhan) yang jika penggunaannya semakin banyak maka akan banyak pohon yang ditebang dan tentu sangat mempengaruhi kestabilan lingkungan.
Bayangkan saja dalam sebulan seorang guru bisa menghabiskan banyak kertas dalam memenuhi kebutuhan administrasinya untuk mengajar sehingga mungkin menjadi salah satu alasan menteri pendidikan mengubah salah satu perangkat mengajar yakni RPP hanya dalam 1 halaman.
Itu baru terkait RPP belum administrasi yang lain. Sama seperti guru, dosen juga dituntut untuk membuat RPS dan perangkat lainnya yang juga memakan kertas. Dari sisi manajemen lembagai administrasi sangat memakan kertas yang banyak baik di sekolah maupun kampus.
Hal ini dapat terbaca dalam dokumen anggaran baik di kampus maupun sekolah yang digelontorkan untuk pengadaan kertas. Kebutuhan akan tintah ikut membengkak dan tintah sangat berpotensi membuat pencemaran lingkungan.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah mendigitalisasi sistem administrasi sehingga semua diakses secara online. Dengan sistem ini maka kertas berhalaman banyak dihemat dan hanya diakses melalui blog/website sebagai pusat informasi institusi pendidikan dalam berbagai level.
Tong sampah yang disediakan di sekolah akan semakin kurang sampah kertasnya, demikian juga akan berkurang dampak polusi akibat pembakaran sampah kertas.
Salah satu contoh dalam dunia kampus adalah proses pembimbingan tugas akhir (skripsi, tesis dan disertasi) yang membutuhkan banyak kertas apalagi dengan intensitas bimbingan yang tinggi. Paling tidak dosen pembimbing rela menerima draf tugas akhir yang diprint dari kertas bekas sehingga hanya dipakai sebelahnya yang masih kosong atau paling tidak konsultasi via email atau whats up dan media sejenisnya.
Jika semua dosen melakukan hal ini bisa dibayangkan akan banyak kertas yang dihemat sehingga biaya pun tidak membengkak. Hal yang sama juga dilakukan dalam hal pengumuman suatu informasi tidak perlu dalam wujud kertas fisik namun cukup diumumkan secara digital sehingga asas penghematan dapat terwujud.
Saat ini sudah beredar e-book (buku digital) dalam jumlah halaman yang banyak sehingga mudah bagi pengguna untuk mendapatkan buku-buku tersebut. Satu gadget handphone dapat menampung ratusan buku tergantung kapasitas memorynya.
Perpustakaan-perpustakaan kampus/sekolah juga sudah mulai berhijrah ke arah e-Library, semua dalam rangka penghematan dan efisiensi anggaran. Belum lagi administrasi pengelolaan pendidikan dari kementrian pendidikan hingga dinas pendidikan atau di lembaga-lembaga di bawah kementrian pendidikan tinggi yang juga pasti membutuhkan kertas yang banyak.
Untuk itulah wawasan “Environmental Ethic” mesti tertanam dalam kesadaran moral para pimpinan intitusi pendidikan untuk memberikan keteladanan perilaku praktis dalam hal kelestarian lingkungan.
Kesadaran itu harus termuat dalam kebijakan/keputusan secara praktis. Jika setiap institusi pendidikan tahap demi tahap dan satu demi satu mulai mengaplikasikan dalam kerja-kerja kedinasan sehari-hari maka kita optimis apa yang diharapkan akan terwujud. Semoga (Oleh : Rahmad Nasir, M.Pd.
Ketua Progam Studi PGSD STKIP Muhammadiyah Kalabahi)