Kupang, seputar-ntt.com – ADA syair dalam nyanyian lara orang Sabu yang berbunyi Bole jaru ina tana, era deo mone tao, maji nangi dahi ae, era mangi tu di, bole jaru ina tana, noho huma kolo lai, do ta mai bale wari, era mangi tu di. Syair kesedihan ketika orang Sabu hendak pergi meninggalkan pulaunya, namun disitu dikatakan walau harus seberangi samudera nan luas pasti aku kembali lagi. Pepatah Sabu yang mengatakan Mai di La Kota Rai Do Peliba Doi, seperti magnet yang menarik orang Sabu Raijua keluar dari Kampungnya. Syair dan pepatah diatas ini tetap membahana dalam hati sanubari orang Sabu yang sementara mencari hidup diperantauan.
Yang menjadi pertanyaan apakah mereka benar-benar akan kembali membangun Sabu Raijua setelah menjadi kabupaten otonom sejak diresmikan pada tahun 2009 silam? Syair lagu diatas bila didendangkan dengan syahdu niscaya orang yang mendengarnya akan menangis, mengingat sumpah janji pada pulau tempat dia dilahirkan. Tempat dimana darah yang mengalir dalam nadi membasahi bumi. Janji suci pada leluhur dan janji suci pada yang maha kuasa. Setiap orang Sabu selalu menyimpan sedikit rasa dalam hati kecilnya untuk kembali menjejaki telapak kaki pada rahim pulau Sabu. Nyanyian dan syair itu juga menjadi cambuk bagi orang Sabu untuk bisa bergulat dengan getirnya hidup di perantauan. Mereka dipaksa untuk bisa melakukan sesuatu. Bila perlu harus berpikir lebih jauh melebihi apa yang orang lain pikirkan dan mampu berbuat melebihi apa yang orang perbuat. Sehingga jangan heran kalau anda berjalan di pasar pasar ada “angalai” yang sedang jual ikan, ada papalele dari Sabu yang bergulat dengan ganasnya pasar kota kupang.
Kalau anda berjalan di trotoar jangan heran kalau anda selalu bertemu pedagang asongan, atau berkunjung di toko dan supermarked, disitu ada gadis manis asal Sabu yang nanti menyapa anda. Tapi jangan pula ada risih jika didepan anda berdiri para petinggi baik petinggi dibidang pemerintahan atau petinggi di bidang swasta yang nota bene orang Sabu. Itulah kehidupan mereka. Seperti kata mantan Gubernur NTT dua periode, almarhum Piet Tallo, kalau mau cari orang Sabu berjalanlah dipinggir jalan maka dia akan menyapa anda, dan bertandanglah digedung-gedung mewah maka situ juga anda akan menemukan orang Sabu. Mereka memang hidup seperti ulat yang harus bisa bermetamorfosa, harus bisa seperti hewan aphibi yang dapat hidup di dua alam. Jadi jangan heran kalau anda bisa melihat orang Sabu yang berprofesi mulai dari kuli hingga Bupati dan Wali Kota maupun Gubernur, Dari Kapolsek hingga Jenderal atau dari loper Koran hingga pemimpin Redaksi sebuah media. Itu hal lumrah dalam sejarah orang Sabu.
Untuk tetap mempersatukan Do Hawu di perantauan, sejumlah putra-putri asal Sabu Raijua membentuk sebuah paguyuban di Kota Kupang yang diberi nama Paguyuban Sabu Raijua Diaspora. “Paguyuban ini pertama kali digagas oleh beberapa org basodara Do Hawu yg ada di kota Kupang, antara lain Ibu Yuliana Goa, Pak Lazarus Bole Padi, Ibu Otha Welly Yeny Thalo, Pak Pdt. Jerison Djo Rake, Pak Dominirsep Dodo, Pak Gabriel Dju Jani dan saya sendiri Friets Bua Mone,” jelas Friets Bua Mone lewat WAG Paguyuban Sarai Diaspora pada Senin, (20/6/2022).
Pembentukan Paguyuban ini lanjt Adhi Bua Mone, sapaan Akrab Friets Bua Mione, murni bertujuan untuk saling memperhatikan satu dengan yang lain sesama Do Hawu, baik yg ada di perantauan, terlebih untuk Do Hawu yg ada di tanah leluhur. “Diharapkan agar kita semua yg tergabung dalam paguyuban ini dapat berkontribusi sekecil apapun. Entah berupa tenaga, waktu, materi, pemikiran dan sebagainya. Kalau ada individu – individu dalam grup yang berkecimpung dalam politik praktis dalam hal mendukung atau didukung seseorang atau sebuah partai politik, itu dipersilahkan saja, tapi tetap tidak mengatasnamakan paguyuban. Karena berpolitik merupakan hak azasi setiap warga negara yg tidak bisa kita batasi. Dengan demikian, secara organisasi sangat jelas bahwa paguyuban bukan organisasi politik atau bukan juga organisasi yang berafiliasi dengan partai politik atau politikus manapun. Kita sangat berharap agar kemurnian ini dpt terus terjaga sebagai sebuah organisasi yg netral,” pungkas Adhi Bua Mone.
Tak bisa dipungkiri, setiap keturunan Hawu Miha yang hidup jauh di rantau orang, selalu hidup dalam rindu akan kampung halaman. Kerinduan mereka bisa muncul dalam berbagai apresiasi. Seperti membentuk wadah, menyalurkan berkat atau sekedar menyanyikan lagu dalam syair sabu. (joey rihi ga)