Seba, seputar-ntt.com – Kematian bagi masyarakat adat atau yang masih menganut aliran kepercayaan Jingitiu di pulau Sabu dan Raijua adalah sebuah proses menuju dunia keabadian. Bagi mereka, jika seseorang meninggal dunia maka masih ada sejumlah proses ritual yang harus dilakukan oleh keluarga yang masih hidup. Penganut Jingitiu Sabu Raijua meyakini bahwa roh orang yang meninggal dunia akan melenggang ke nirwana atau surga apabila telah dilakukan penyucian arwah atau pemau do made bagi orang yang telah meninggal tersebut.
Untuk melakukan ritual ini maka dibutuhkan dana yang cukup lumayan karena akan membunuh korban sembelihan mulai dari ternak kecil hingga ternak besar, tergantung dari dari strata sosial sesorang.
Salah satu tokoh masyarakat dan pelaku adat di Desa Loborai Kecamatan Sabu Timur, Huki Tade kepada Seputar NTT menjelaskan, orang yang meninggal dalam sebuah kampung adat tertentu yang diikat oleh kekerabatan dan hirarki suku akan melakukan ritual penyucian arwah secara serentak.
“Ritual ini akan dilakukan atas kesepakatan semua keluarga dari setiap orang yang meninggal dunia karena ini menyangkut dengan dana yang besar yang akan dihabiskan. Ritual ini tidak dilakukan setiap tahun, bisa lima tahun sekali atau lebih sehingga jika ritualnya sudah dilakukan ada puluhan orang mati yang arwahnya akan disucikan,” demikian kata Huki.
Huki menuturkan, ritual “pemau do made” akan dilakukan selama tiga hari berturt-turut. Pada hari pertama, semua keluarga dari orang yang meninggal akan berkumpul. Disini semua kerabat serta orang yang berasal dari kampung tersebut akan berkumpul dengan membawa masing masing ternak dan makanan berupa beras atau kacang hijau. Kaum perempuan bertanggungjawab untuk mengumpulkan makanan berupa beras sementara para lelakinya bertanggungjawab mengumpulkan ternak.
Setelah semuanya berkumpul maka pada hari kedua akan dilakukan ritual penyucian bagi setiap orang yang telah meninggal di kuburan mereka masing masing yang ditandai dengan batu. Kuburan orang mati yang masih jingitiu berbentuk bulat seperti dimana orang yang meninggal akan diikat berbentuk bulat lalu dikuburkan. Dihari kedua ritual setiap keluarga dari yang meninggal seperti anak istri atau kakak adik dan ibu bapak nya akan memakai pakaian adat dengan motif tertentu sesuai dengan stratanya.
Mereka akan diterima oleh orang yang paling dituakan dalam kampung dengan memangku mereka masing masing sambil melafalkan mantra yang keramat. Mantra tersebut intinya agar yang telah meninggal tidak boleh lagi mengganggu keluarga yang masih hidup karena mereka akan disucikan jalannya menuju nirwana. Dengan demikian maka mereka sudah berbeda alam dengan dunia orang hidup.
Ritual ini ditandai dengan memasak berbagai jenis makanan mulai dari beras merah, kacang hijau, kacang hitam, beras ketan, maupun sorgum dalam sebuah peruik tanah. Yang memasaknya adalah wanita wanita tua dan selama proses memasak tidak boleh berbicara. Setelah itu, beberapa pemangku adat telah menyiapkan seoekor domba putih dipintu luar kampung sebelah barat untuk dipotong menjadi dua.
“Domba putih yang dipotong menjadi dua ini adalah lambang persembahan dan kurban bakaran bagi sang khalik sebagai tanda penyucian bagi mereka yang telah meninggal. Binatang korban ini tidak boleh dimakan oleh orang yang satu suku dari orang yang ada dalam kampung tersebut karena itu akan mendatangkan malapetaka,”jelas Huki.
Pada malam hari kedua ritual “pemau do made”, bagi orang mati yang meninggalkan istri atau suami akan dilakukan ritual khusus dimana mereka akan berpakaian putih dari kaki hingga kepala menyerupai pocong. Mereka kemudian dibawa keluar kampung pada tengah malam dengan nyanyian adat dan tangisan ratapan menuju tempat pembuangan barang barang yang kotor dan berdosa. Setelah dari situ mereka akan dimasukkan kerumah adat kemudian disucikan dengan air dan asap dupa.
Pada hari ketiga ritual “pemau do made” akan dilakukan prosesi bunuh binatang untuk dibagikan kepada setiap orang yang datang membawa sumbangan baik itu berupa ternak, beras atau uang. Ratusan binatang akan dipotong kemudian dibagikan dalam sebuah tempat yang dalam bahasa sabu di sebut “pai”.
“Pembagian daging korban kepada setiap orang berdasarkan besarnya bawaan mereka, seperti yang bawa binatang maka dia memperoleh daging yang lebih banyak dan seterusnya. Itu sudah menjadi tradisi dan adat kita disini,”ungkap huki.
Pada malam harinya akan dilakukan kegiatan yang mengekspresikan kegembiraan berupa permaian lompat alu atau permainan bambu gila kalau di Ambon. selain itu ada juga tarian pedoa yang dilakukan secara masal dalam kampung. Kendati demikian ritual penyucian arwah ini akan dikatakan genap dan selesai setelah tiga kali purnama setelah ritual penyucian yang disebut dengan “dabo rao”.
Ternak yang belum dibunuh pada ritual “pemau do made” akan dibunuh pada ritual “dabo rao” untuk dimakan beramai ramai oleh keluarga sebagai tanda suka cita bahwa keluarga mereka telah tiba di nirwana setelah mereka yang hidup meretas jalanya menuju nirwana lewat ritual sakral “pemau do made”. (joey rihi ga/seputar ntt)