Kupang, seputar-ntt.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT dinilai lamban dalam menangani masalah TKI di Medan yang disekap oleh majikan mereka sehingga berbuntut pada meinggalnya dua TKW yakni Marni Baun dan Riska Bota. Penilaian ini disamapikan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT).
“Jika pemerintah daerah dan kepolisian respon dalam menangani persoalan trafficking ini, maka kematian dua TKW itu bisa dihindari, karena pengaduan Eri Ndun yang juga salah satu dari 20 TKW yang sempat lolos melarikan diri kembali ke Kupang tidak ditindaklanjuti,” kata Ketua JPIT Pdt. Meri Kolimon Kepada wartawan, di Lasiana, Jumat (7/3/2014).
Meri Kolimon mengatakan salah satu TKW yakni Eri Ndun sempat melakukan percobaan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 4 pada malam pergantian tahun 2012-2013, dan dia berhasil dipulangkan pada bulan Januari 2013 dalam keadaan sakit. saat itu Eri Nduk yang didampingi PIAR dan Rumah Perempuan membuat laporan ke Polda NTT. Sayangnya upaya untuk membuka jaringan perdagangan manusia ini tidak dilakukan oleh pihak kepolisian. Padahal laporan Eri Ndun cukup jelas bahwa ia bukan korban tunggal dan ia disekap bersama 25 temannya di Medan.
“Pihak kepolisian pada saat itu berdalih bahwa TKP berada di Medan dan pelaku tidak bisa ditangkap. Hal itu tidak masuk akal sebab kita berada dalam satu negara. Apa tidak bisa dilakukan koordinasi dengan pihak kepolisian setempat agar pelaku bisa ditangkap,” Kata Meri.
Terpisah, Koordinator devisi anti Korupsi PIAR NTT, Paul Sinlaeloe menilai Pemerintah NTT hanya suka menjelmput mayat TKW daripada menjemput TKW yang masih hidup. Hal ini bisa dilihat dari lambanya respon jika terjadi persoalan TKW diluar.
“Saya pikir Pemerintah lebih suka menjemput mayat dari pada menjemput mereka yang masih hidup. Kalau TKW ada persoalan yang diutus hanya staf tapi kalau pulang sudah jadi mayat maka yang tampil itu para pejabat” pungkasnya. (riflan hayon)