Kupang, seputar-ntt.com—PT. Puncak Keemasan Garam Dunia (PKGD) telah mengakuisisi 100 Persen saham Pt. Panggung Guna Ganda Semesta (PGGS) pada tahun 2017, sehingga pemilik PT. PGGS tidak memiliki saham 1 Persenpun.
Demikian Kuasa Hukum PT. PKGD, Henry Indraguna dari Law Firm Henry Indraguna & Partner kepada wartawan di Kupang, Selasa (16/10/2018).
“Kami ini benar-benar orang baru, yang murni dan tulus ingin berinvestasi di NTT. Kalau ada dosa-dosa, sakit hati, atau ketidaksukaan itu bukan urusan kami, itu urusan PT. PGGS, kami tidak tahu itu, kami datang tahun 2017, 100 Persen kami beritikad investasi membangun NTT,” jelas Henry .
Dikatakan Henry, tahun 2017 kondisi terakhir PGGS sebelum diakuisisi terindikasi tanah terlantar, pemilik yang lama menghubungi PKGD, disitu PKGD mau ambil alih dan investasi kalau sudah ada rekomendasi, dan statusnya clean and clear dari pejabat yang berwenang.
Lalu pemilik yang lama melakukan kepengurusan, ujar Henry, dari hasil tersebut keluarlah surat rekomendasi tertanggal 20 September 2017 dari Menteri ATR/BPN dengan nomor 3454/35.2.700/IX/2017, yang isinya terhadap obyek HGU PGGS dimaksud dikeluarkan dari database tanah terindikasi terlantar. Surat inilah maka kami berani mengambil alih PT PGGS.
Disamping itu, tambah Henry, juga ada surat yang dikeluarkan oleh Menko Maritim dengan nomor SW-72-001/02/ Menko/ Maritim/IX/2017 yang isinya disepakati pengelolaan HGU PGGS dikerjasamakan dengan PT. PKGD.
“Jadi ada dua surat rekomendasi yang kami terima, dasar dari itulah maka kami ambil alih saham akuisisi PT. PGGS 100 Persen,” akunya.
Setelah mengakuisisi, lanjut Henry, PT. PKGD ingin berinvestasi, karena sudah banyak dana yang dikeluarkan disini, yang notabene entah ada penyalahgunaan atau tidak itu tidak diketahui.
“Sudah puluhan miliar dana yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan kami. Baik untuk pelayanan masyarakat, bangun gereja, renovasi gereja, bangun kantor, pembuatan jalan dan jembatan ini semua demi kepentingan masyarakat,” tandasnya.
Selanjutnya Henry mengungkapkan, sebagai perusahaan yang taat hukum, ketika masuk pada infrastruktur pembangunan industry garam, tentunya harus mengajukan berbagai perizinan. Akan tetapi hingga saat ini izin Amdal dan izin lainnya belum keluar.
“Banyak orang menilai kami tidak bekerja, bahkan yang mengucapkan kata tersebut adalah pejabat pemerintah, apakah mereka tidak mengerti bahwa untuk bekerja itu butuh izin, dan mereka tahu kita belum punya izin, jangan suruh kami bekerja,” sesal Henry.
Diakui Henry, yang berteriak-teriak saat ini justru mereka yang berhak mengeluarkan izin. Negara ini negara hukum, bukan yang hukumnya hukum rimba.
“Kami dipaksa membangun industri garam tanpa ada izin, apakah ini jebakan. Ada konspirasi. Kalau kami bekerja tentu menyalahi aturan. Berikan izin dahulu, kalau tidak bekerja baru cabut HGU kami. Ada alasan yang tepat secara hukum kalau mencabut HGU kami,” papar Henry.
Pihaknya menduga ada yang sengaja untuk mempersulit pengurusan izin Amdal dan izin lainnya tersebut, terbukti ketika minta tanda tangan camat tidak dikasih, dengan alasan tidak boleh oleh ‘yang maha kuasa’.
“Jadi sengaja dibuat sulit, supaya izin kami tidak keluar, lalu membentuk opini publik mengatakan bahwa kami tidak bekerja dan cabut HGU nya, yang tanda tangan izinkan mereka. Beri kami izin lengkap, kalau satu tahun tidak bekerja maka kami siap dicabut HGU nya,” kata Henry. (ira)