Robby Idong, Petarung Politik Diantara Ansar dan Alex di Sikka

  • Whatsapp

Maumere, seputar-ntt.com –Bakal calon (balon) Bupati Sikka periode 2018-2023, Fransiskus Roberto Diogo Idong adalah sosok yang dirasa mampu memecah gelombang politik di Kabupaten Sikka. Gelombang politik yang dimaksud adalah arus yang berasal dari satu kekuatan dan figur besar, Yoseph Ansar Rera sementara satu arus besar lainnya lahir dari sosok  Alexander Longginus.

Berhadapan dengan dua kutub kekuatan yang pernah dan sedang berkuasa di bumi Nian Tana ini, hampir pasti kontestan politik lima tahunan lainnya sedikit ciut untuk berkompetensi. Gong Pilkada Sikka 2018 hampir ditabuh serentak mencuat dari bibir ke bibir nama-nama bakal calon yang konon siap bertarung pada pesta demokrasi tersebut.

Santer terdengar bahwa petahana siap maju untuk melanjutkan programnya menuju satu Sikka yang mandiri dan sejahtera. Hangat dibicarakan pula jika “sang petarung” dari partai berlambang banteng bermoncong putih ingin mengulang kisah suksesnya di tahun 2008 silam. Hampir pasti berbagai strategi sudah mulai digencarkan oleh masing-masing figur ini untuk memimpin Sikka selama satu dasawarsa. Dua kutub ini ibarat gelombang besar yang siap menyapu bersih hati nurani masyarakat di kala berhadapan dengan secarik kertas di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Lantas adakah figur lain yang bisa tampil sebagai pemecah gelombang tersebut???

Akhir tahun 2016, pemerintah Kabupaten Sikka menetapkan status Darurat Bencana dan di awal bulan Februari 2017 statusnya berubah menjadi Tahun Darurat Kabupaten Sikka. Langkah ini diambil mengingat alam tak mau berkompromi. Prinsipnya, udara yang bergerak harus mengalir dari tekanan yang tinggi menuju daerah bertekanan rendah. Ini berarti udara akan mengalir dari wilayah Kabupaten Sikka yang mencapai angka 1006 mb menuju daerah pusat tekanan rendah (low pressure) dengan angka 989 mb tepatnya di Selatan Wilayah perairan NTT. Kondisi inilah yang menyebabkan angin kencang bahkan puting beliung mengarah ke arah timur laut dan selatan Flores dan mengharuskan gelombang laut mengamuk menghantam pesisir utara Kabupaten Sikka.

Sayang, barisan turap yang berdiri kokoh di pesisir utara Sikka harus mengalah dengan amukan gelombang. Barisan itu terlalu rapuh dan keropos. Lantas Ahmad Lamong,warga Wuring Laut, Amir Jengku, warga Desa Watumilok, dan Muhammad Kabir, Warga Dusun Namang Jawa yang mewakili puluhan korban ancaman abrasi harus menjadi penonton setia manakala rumah mereka menjadi bulan-bulanan gelombang setinggi 4 meter.

Memang, masyarakat butuh yang namanya break water. Tak sekadar turap yang terlihat loyo sehingga membiarkan gelombang menghancurkan Pelabuhan Ferry Namangkewa yang belum sempat berulang tahun pertamanya. Dia harus kuat, tegar dan tak dimakan karat biar Ahmad Lamong dan kawan-kawan bisa berlindung di bawahnya.

Ini potret pemecah gelombang sungguhan.

Sekali lagi, Fransiskus Roberto Diogo Idong akhirnya diidentikkan dengan bangunan pemecah gelombang yang mampu membelah dua dua kekuatan besar, Ansar dan Alex. Konsep Governance System a la New Zealand yang cukup melibatkan peran swasta danNon Goverment Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam sistem kepemerintahan bisa jadi peluru ampuh sang Camat Nelle ini untuk memenangkan hati masyarakat.

Tak hanya itu saja, mengutip program Nawa Cita Presiden Jokowi, Konsep Membangun dari Desa, digadang-gadang sebagai pedang bermata dua yang siap membelah dua arus besar, Ansar dan Alex. Desa-desa terpencil yang belum tersentuh pembangunan sudah disambanginya sekedar mendengar keluh kesah kaum tak mampu bersuara,Voice of the Voiceless sambil menyimpannya dalam hati untuk diperjuangkan nantinya. Ya, Robby Idong sudah dikenal di mana-mana, di 147 desa dan 13 kelurahan.

Mungkin tidak keliru juga kalau akhirnya partai PKB menjatuhkan pilihan politiknya untuk mengusung, alumnus STPDN ini maju sebagai balon Bupati Sikka. Alih-alihnya sudah saatnya orang muda memimpin. Sudah saatnya masalah kekinian dicairkan dengan solusi kekinian, bukan konservatif atau kuno. Sudah saatnya ada figur pemecah gelombang, Ansar dan Alex.

Stiker dengan warna kebesaran PKB, hijau, sudah bertebaran di sudut-sudut Kota Maumere, ada di warung kopi, di kios-kios, di halte yang hampir ambruk dihantam la nina beberapa waktu lalu, ada di tiang listrik, di pintu rumah-rumah penduduk, mungkin juga dalam hati masyarakat.

Tebaran stiker ini dibilang offside??? Jelas memang tetapi semua ini tergantung hakim garis dan wasit utama. Selama bendera belum diangkat dan peluit belum berbunyi, offside bisa menjadi senjata yang mematikan lawan bahkan di menit-menit awal pertandingan. Ini yang namanya seni. Seni memainkan pola pikir, seni mengolah emosi, seni mengolah pilihan.

Ahmad Lamong dan kawan-kawan tidak ingin gelombang terus menghancurkan rumah-rumah mereka. Mereka hanya minta pemecah gelombang yang kokoh agar mereka aman di saat gelombang melampiaskan amarahnya.

Di sini ada Robby yang siap pecahkan gelombang, Ansar dan Alex.(chs)

 

 

Komentar Anda?

Related posts