Kupang, Seputar NTT.com – Pulau Ndana merupakan salah satu pulau dari tiga buah pulau yang masuk menjadi wilayah Kabupaten Sabu Raijua. Namun pulau yang masuk dalam pulau terluar dari wilayah NKRI ini tidak memiliki penghuni. Pekan silam Rai Hawu bertandang kewilayah yang menjadi tempat terdamparnya para imigran asing yang hendak menyeberang ke Australia. Di Pulau ini ada patung Soekarno-Hatta sang proklamator yang dibuat oleh Gugus Depan Marinir sebagai tanda bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari Negara kesatuan RI. Patung Soekarno berwarna merah dan patung Hatta berwarna putih melambangkan bendera merah putih yang berdiri kokoh di batas nusantara. Tak ada orang dipulau ini membuat aura berbeda dengan dua pulau lainnya yakni pulau Sabu dan Raijua yang menjadi Kabupaten Sabu Raijua. Sang proklamator berdiri sunyi, berteman deburan ombak yang tak henti. Di Pulau ini sering terlihat kapal nelayan luar yang dating untuk menggarong hasil Bumi di Laut Sawu. Tak ada yang melarang sebab sang proklamtor hanya membisu. Dipulai Ndana pula, tempat yang paling aman bagi para imigran asing untuk berlindung sejenak atau sekedar mengambil air minum karna disitu ada sebuah sumur yang airnya tidak asin. Entah siapa yang menggalinya tapi sangat membantu nelayan Sabu ketika melaut hingga pulau Ndana. Keberadaan Patung sang Proklamtor seperti mengingatkan, bahwa sebentar lagi seluruh anak bangsa akan merayakan HUT RI yang ke 68. Disaat yang sama patung sang proklamator berdiri sepi di perbatasan Indonesia dengan Australia. Menyepi dan Sunyi, sesunyi jamahan pembangunan yang tak menyentuh wilayah perbatasan senagai jendela indoensia dari luar. Patung Proklamator seakan hanya sekedar penanda bahwa pulau Ndana juga masuk dalam ikrar kemerdekaan RI sementara dilupakan untuk disentuh dengan berbagai sarana lain sebagai tanda bahwa inilah Indoensia saat orang melintasi samudera hindia dan laut Sawu. Semoga kehadiran sang proklamator di Pulau Ndana bisa member aura positif bagi Kabupaten Sabu Raijua dalam sentuhan pembangunan. Puluhan Tahun lalu, Pulau Sabu masih gelap gulita, masyarakatnya tidak pernah merasakan sinar lampu neon atau sejenisnya. Bahkan masyarakat juga mungkin saja belum pernah mengenal apa itu lampu pijar atau yang sekarang lebih keren seperti lampu neon yang dialirkan dengan tenaga listrik. Kala itu, penerangan andalan warga hanyalah biji pohon nitas yang sudah kering, kemudian digunakan warga sebagai pengganti bahan bakar untuk penerangan seperti minyak tanah yang lazim digunakan warga hingga saat ini untuk sebuah lampu penerangan yang disebut lampu tioek. Sudah lebih dari belasan tahunan pula, mereka hanya bisa melihat sinar lampu yang terang benderang bak Matahari yang terbit pada malam hari ketika mereka keluar dari pulau Sabu ke Kota – Kota yang lebih maju seperti di Kota Kupang. Tapi perubahan demi perubahan terus berjalan seiring terus bergulirnya Pembangunan yang merata diseluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur ini sehingga jika dulu masyarakat hanya membakar Biji Pohon Nitas yang kering sebagai Penerangan mereka dikala malam hari, maka seiring dengan perjalanan sang waktu, sebuah perubahan telah terjadi. Kalau dulu mereka melihat nyala Bohlam – Bohlam listrik bak matahari malam di tanah orang, maka sebagian masyarakat Sabu Raijua menikmati pelayanan Listrik sebagai Penerangan yang dilayani oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sub Ranting Sabu sekitar lebih dari belasan tahun lalu. Orang sabu dikenal dari buatan tangannya. orang di Pulau Raijua misalnya, dikenal karena mumpuni menganyam tikar pandan. orang Liae dikenal pandai membuat periuk tanah dan pandai besi. Orang Mehara ulet menun kalin adat. orang Timu dan Seba adalah lumbung pangan tempat barter hasil kerajinan lokal. Tapi apa yang diwariskan para leluhur seperti kerajinan tikar pandan kini tinggal nafas terakhir. zaman berubah, dan orang mulai gampang melupakan identitasnya. zaman kasur empuk dilangkapi bedcover, atau tikar plastik buatan orang luar, sudah menjadi impian orang sabu. Padahal tikar pandan adalah tikar kehormatan para raja ketika harus duduk diambang pintu rumah adat untuk berkumpul dan bermusyawarah. Orang raijua terkenal sebagai pengrajin tikar pandan, buatannya halus dan rapi tapi sekarang kurang diminati karena kalah saingan dengan tikar buatan pabrik, padahal dulu menjadi tikar para raja. Mina Hegi, salah satu pengrajin tikar pandana kepada Rai Hawu mengungkapkan bahwa dirnya menjadi pengrajin tikar pandan karena memang hanya itulah keahlian yang diwariskan para leluhur padanya. Dari sisi penghasilan, tidak terlalu memuaskan. Namun yang menjadi keprihatinannya saat ini adalah orang Raijua sudah tidak cakap lagi menganyam tikar pandan, mereka justru lebih lincah mengikat rumput laut pada talinya. Padahal nenek moyang selalu menurunkan keahliannya membuat tikar pandan bagi anak cucunya. Alasannya sederhana mengapa mereka meninggalkan kerajinan tikar pandang karena selain harganya murah, pembuatannya yang memakan waktu , dulu semua orang raijua bisa membuat tikar pandan sehingga tikar menjadi tak memiliki nilai jual. mina hegi berkisah bahwa dia harus keluar masuk kampung untuk mengumpulkan selembar demi selembar daun pandan di raijua untuk dikumpulkan sebagai bahan baku pembuatan tikar pandan. Untungnya tidak seberapa tapi lumayan buat makan dan biaya sekolah anak. disaat rumput laut kembali dibudidaya dinegeri gajah mada ini apakah tikar pandan akan ditinggalkan menjadi cerita pengantar tidur anak cucu?? ditangah maraknya persaingan di era global ini, kenapa orang sabu tidak lagi ingin merasakan hangatnya pelukan tikar yang menjadi lambang penghormatan ketika pahlawan nusantara duduk bersanding dengan para nikimaja yang kesohor hingga kolong langit asia kecil ??(Joey)
Sang Proklamator Dibatas Nusantara
