Lewoleba, seputar-ntt.com – Dilatari keperihatinan atas kondisi pembangunan selama 17 tahun otonomi Lembata, mahasiswa Katolik Dioses Larantuka-Kupang yang tergabung dalam Aktivitas Pendalaman Iman (API) Renya Rosari, Sabtu (23/0716) menggelar diskusi Publik di Lewoleba.
Dengan mengusung tema, “Curah Pendapat 17 Tahun Otonomi Daerah Lembata”, diskusi publik yang diselenggarakan di aula kantor Camat Nubatukan itu, menghadirkan mantan Penjabat Bupati Lembata, Petrus Boliona Keraf, Wakil Bupati, Viktor Mado Watun, pengamat, Dr. Jhon Kotan dan rohaniwan, Romo Sinyo Da Gomes sebagai pembicara.
Pieter Boliona Keraf dalam meneropong penjalanan 17 tahun otonomi Lembata mengatakan, setiap pemimpin Lembata mesti memiliki jiwa rela berkorban. Dia mencontohkan dimasa 2 tahun kepemimpinan awal otonomi sebagai penjabat Bupati tahun 1999-2001, Lembata saat itu belum punya apa-apa.
Namun karena ada jiwa rela berkorban, dirinya berupaya menerobos ketertinggalan dengan konsep-konsep pembangunan yang matematis. Artinya menurut Keraf, pembangunan itu harus konkrit semisal membangun jalan lingkar luar Lembata mendorong gerakan pohon kemakmuran yakni dengan menanam tanaman komoditi.
“Waktu itu susah memang, Lembata belum punya apa-apa. Lembata hanya irigasi di keluarahan Lewoleba Barat dan Pasar Inpres yang yang berada di kelurahan Lewoleba. Kehidupan masyarakat Lembata saat itu juga sangat susah. uang yang beredar pun hanya uang-uang kumal. Jalan yang baik hanya 33 kilometer. Mobil dinas belum ada sehingga saya gunakan mobil pribadi sebagai mobil dinas EB 1. Komputer juga milik pribadi bahkan anak-anak saya dipaksa pulang menjadi operator”, kisah Piter.
Untuk itu, Piter menyayangkan jika bupati-bupati setelah masa penjabat tidak memiliki jiwa rela berkorban, bahkan menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri tentu wajar jika Lembata terus tertinggal dari daerah otonom lain di NTT. Sayangnya, Mantan Bupati Lembata 2 periode, Andreas Duli Manuk yang juga diundang API RENYA sebagai pembicara, berhalangan hadir sehingga tidak dapat mencurahkan segala kendala pembangunan dimasa kepemimpinanya.
Sementara wakil Bupati, Viktor Mado Watun yang didelegasikan Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur, mengakui belum banyak hal yang dibuat untuk memajukan Lembata. Viktor menjelaskan, ada tiga masalah serius di Lembata yakni Air, Jalan dan Listrik. Diakui Viktor meski ada beberapa bukti pembangunan dimasa kepemimpinanya bersama bupati Sunur namun masih banyak kendala dari aspek manfaat. Dia mencontohkan pembangunan proyek air minum Weilain di kecamatan Omesuri belum rutin digunakan karena terkendala listrik.
Selain itu pembangunan infrastruktur jalan di Lembata juga tidak secepat yang diharapkan masyarakat karena terkendala anggaran. Menurut Viktor, rata-rata setengah bagian dari postur APBD Lembata digunakan untuk belanja Aparat. Mulai dari Gaji PNS, Tunjangan Jabatan, Tukin, perjalanan Dinas, gaji DPRD dan lainnya. Sedangkan ruas jalan Negara di Lembata baru ditetapkan pemerintah pusat tahun 2016 sepanjang 58 km, yakni dari Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan sampai Pasar Balauring, kecamatan Omesuri.
Mendengar berbagai problem ini, Dr. Jhon Kotan yang berbicara sudut demokrasi Lembata diera otonomi mengatakan, otonomi ibarat obat mujarab. Jika diberikan kepada penyakit yang tepat dengan takaran yang tepat serta pada saat yang tepat pula maka benar-benar akan mujarab. Namun jika tidak, maka dikuatirkan otonomi akan menjadi racun yang mematikan.
Soal perjalanan demokrasi di Lembata selama 17 tahun otonomi, Kotan menjelaskan orang lapar bukan karena kekurangan ASI tetapi kekurangan demokrasi. Untuk itu, soal demokrasi kata Kotan dapat diukur dari tiga hal utama yakni pertama, soal keseimbangan masyarakat dan pemerintah. Apakah otonomi daerah dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk menjadi pelaku pembangunan? Atau sebaliknya.
Kedua menurut Jhon, soal akuntabilitas yakni pertanggungjawaban pemimpin terhadap segala kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan termasuk pemimpin sendiri harus membuka ruang untuk dikritik atau diberi catatan-catatan kritis. Ketiga menurut Kotan, soal pelayanan publik yakni soal pendidikan, kesehatan, infrastruktur yang juga harus dipenuhi.
Sedangkan Romo Sinyo Da Gomes menyoroti soal pembangunan Sumber Daya Manusia yang tidak hanya sebatas intelektual tetapi juga soal mental spritual. Menurut Romo Sinyo, semangat “Taan Tou” (Kebersamaan-red) perlu dipupuk tetapi penting juga harus ada kelompok yang selalu mengawal dan mengritisi berbagai kebijakan dengan semangat Taan Tou.
Untuk diketahui, diskusi publik yang dimoderatori alumni API Renya-Kupang, Satria Betekeneng ini, berlangsung cukup alot. Dalam sesi diskusi, peserta diskusi yang dari berbagai latar belakang, menyoroti banyak persoalan yang muncul dalam setiap era kepemimpinan masa otonomi. Diskusi yang dimulai sejak Pkl. 11.00 Wita, baru berakhir sekitar Pkl. 15.30. Hasil diskusi ini akan direkomendasikan kepada pemerintah daerah dan rencananya akan diserahkan oleh pengurus API Renya dalam waktu dekat. (Broin Tolok)